4

295 35 0
                                    


Terakhir kali mereka bertengkar serius, itu masalah--tunggu sebentar. Setelah diingat-ingat, mereka sepertinya sama sekali tidak pernah bertengkar serius. Benarkah seperti itu, Ushijima-san?

"Sepertinya--eh? Pernah tidak ya?" Wakumi mengerucutkan alisnya bingung, melirik Wkatoshi agar menolongnya. "Hei, aku tidak meminta tolong, kok?!"

Ya, ya, terserah.

"Pernah." Wakatoshi menyahut. "Sekali. Waktu aku merusak jurnal pertama Onee-san dan Onee-san menyembunyikan tiket pertandingan voli nasionalku sebagai balasannya."

Kekanakan sekali kau, Wakumi-san.

"Aku tidak!" Seandainya tidak ada Wakatoshi, mungkin gadis itu sudah meledak sambil menghancurkan studio wawancara ini.

Baiklah, kembali ke topik. Bisa tolong ceritakan detailnya, Ushijima-san?

Si kembar mengangguk.

"Kalau tidak salah, waktu itu...,"


*


"Okaa-san, lihat jurnalku tidak?" Seorang gadis manis berusia dua belas tahun menghampiri ibunya di dapur.

"Jurnal? Yang mana?" Sang ibu membalas dengan pertanyaan tanpa mengalihkan perhatiannya dari masakannya. "Siang ini kita makan nasi sushi, ya."

"Asik! Tunggu--maksudku, jurnal yang itu, yang selalu kubawa kemana-mana sejak dua minggu lalu! Itu jurnal penting, Kaa-san!"

Ibunya mengedikkan bahu. "Coba tanya adikmu dulu. Siapa tahu Wakatoshi melihat."

Gadis itu--Wakumi--mengangguk dan cepat-cepat berlari ke kamar adiknya.

Itu adalah hari yang dingin di bulan Desember, libur tengah semester tiba dengan wajah sumringah pada anak-anak, salju pertama akan turun tepat pada malam natal.

Pertumbuhan si kembar begitu cepat. Dari kejadian besar dua tahun lalu, sakit keras dan kecelakaan  besar sama sekali tidak tercermin dari perilaku mereka di kemudian hari. Si sulung sudah melewati pubertas dan kini tingginya mencapai 155 cm, sementara si bungsu masih bersuara khas anak-anak walau tubuhnya menjadi semakin besar dan mencapai 151 cm.

Wakumi semakin tenggelam dengan sains dan penerapannya, sedang membuat jurnal ilmiahnya yang pertama, membahas tentang bumi dan seluk beluknya. Kendati menekuni bidang ilmu pengetahuan alam dan matematika, gadis itu masih terus bermain voli, mengambil peran sebagai setter utama di timnya.

Wakatoshi sedang merintis karir volinya, menjadi ace yang luar biasa dari tahun ke tahun. Dia semakin pandai memasak, karena kakaknya yang tidak bertanggung jawab menyatakan bahwa dia terlalu sibuk bertegur sapa dengan alien di media sosial untuk memasak. 

Siapapun teman yang mereka tanyai, semuanya menyatakan Wakatoshi lebih layak menjadi kakak.

"Wakatoshi, apa kau lihat--Apa yang kau lakukan?!" Wakumi cepat-cepat mendobrak masuk--dia hanya mengintip saja tadi--ke kamar Wakatoshi dan merebut kasar benda yang adiknya pegang.

"Nee-san? Apa maksud--" Pertanyaan Wakatoshi terhenti begitu melihat air mata mengalir dari mata kosong kakaknya ke pipi tirusnya.

Wakumi tidak pernah menangis lagi sejak umurnya tiga tahun--kejadian dua tahun lalu tidak dihitung. Dia tegar dan kokoh, lapisan dinding tertentu melindungi hati kecilnya yang murni.

Lapisan pertama, Wall Maria.

Ehem! Maksudnya, lapisan pertama, senyuman. Senyum khusus yang dilayangkan ke orang benar-benar tidak dikenal, supaya menjauh dan jangan dekati dia bila berniat buruk.

Lapisan kedua, kata-kata. Kata-kata manis nan indah untuk membuat orang lain diam dan tidak berusaha menerobos privasinya.

Lapisan ketiga dan terakhir, kegilaannya. Obsesi tidak wajarnya pada sains dan voli, hanya diketahui teman dekat dan keluarganya.

Semua itu untuk melindungi dirinya, yang rapuh dan lemah, mudah dihancurkan.

Dan Wakumi benci terlihat lemah.

Sadar bahwa dirinya tengah menangis di depan Wakatoshi, gadis itu mengusap air matanya dan memberikan senyum paksa pada adiknya kemudian segera pergi dari situ. Tangannya menggenggam buku yang telah robek dan digunting sana-sini, seperti suasana hatinya saat ini.

Wakatoshi seketika paham, dia telah membuat kakaknya marah.


Sisa hari itu dia habiskan dengan mencoba meminta maaf pada kakaknya, tetapi dia tidak menerima respon. Wakumi hanya mengangguk dan tersenyum acuh tak acuh, kembali tenggelam di lautan artikel di mejanya.


Tiga hari kemudian, Wakatoshi tidak dapat menemukan tiket masuk pertandingan nasional di Tokyo. Dia ingat betul sudah memasukkan tiket itu ke dalam tasnya tadi pagi ketika keluarganya hendak berangkat.

Tidak bisa melakukan apa pun, akhirnya dia hanya mendapat tempat duduk di luar gedung, menonton bersama ribuan orang lain yang tidak punya uang untuk membeli tiket, dengan modal nama ayahnya.

Hal terakhir yang dia ingat saat itu bukanlah pukulan penentu ace tim favoritnya, melainkan senyum kemenangan kakaknya ketika mereka pulang ke Miyagi, keesokan harinya.


*


"--dan begitulah. Benar, Wakatoshi-kun?" Wakumi meminta persetujuan saudara kembarnya.

Wakatoshi mengangguk. "Aku baru yakin saat perjalanan pulang, kalau Onee-san sengaja menyembunyikan tiket itu untuk membalas kerusakan jurnal."

"Y-yah, tidak juga." Wakumi menggaruk belakang kepalanya. "Okaa-san tidak mau menambah uang sakuku sementara aku butuh banyak uang untuk percobaan, jadi tiketmu kujual." Dia menunjukkan tanda damai, peace. "Laku keras dengan untung 5 persen. Memukul dua burung dengan satu batu, kenapa tidak?"

Wakatoshi hanya menatap datar kakak kembarnya.

Astaga, kalian ini payah sekali.

"Hah?! Berani kau bilang Wakatoshi payah?" Wakumi hendak melempar buku ditangannya. 

Jangan dilempar, itu buku mahal. Tapi kalian memang payah. Maksudku, itu bahkan tidak termasuk pertengkaran serius. Aku dan saudaraku melakukan hal-hal itu nyaris setiap hari. Merusak barang satu sama lain atau semacamnya, kau tahu. Waktu kami kecil, paling tidak.

"Mungkin keluargamu tidak harmonis." Wakatoshi berkata serius. Sementara Wakumi mengibarkan spanduk bertuliskan 'JANGAN BERANI MENYANGGAH UCAPAN ADIKKU YANG MANIS' di belakang adiknya.

Oh yeah, lalu keluargamu sudah sangat harmonis, kalau begitu?

Wakatoshi mengerjapkan matanya. "Benar juga." Dia tenggelam dalam lamunannya. Wakumi mengganti tulisan spanduknya menjadi 'KUBILANG JUGA APA' dengan ekspresi masam.

Astaga, maafkan aku. Aku tidak--

"Baiklah, kalau begitu, kalian yang sedang membaca, tolong bantu aku membuat keluarga yang harmonis, bagaimana?"

Aku tidak ber--apa?

Kau bilang apa tadi?

"Apa maksudmu, Wakatoshi-kun?!" Wakumi berteriak tepat di telinga Wakatoshi.

"Seperti yang ku katakan tadi, Nee-san." Wakatoshi menjawab tenang.

Maksud--ah, peduli amat.

Menurut buku yang pernah kubaca, situasi ini sangat tepat untuk gabungan antara kata ya sudahlah dan terserah.

"Tunggu, YUUTO!"

"Tunggu, bantu aku! Hei, penulis tak becus, apa yang kau lakukan? Ada wanita dan gadis bar-bar diluar hendak mendobrak masuk studio--YUUTO!!"

Ya sutralah.



T.B.C.
_______________________________________________

Kalo kaya gini, enak dibaca ngga menurut kelen?

My Toneless Brother || Ushijima x Twins F!Oc [√]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang