Suara sendok yang bertubrukan dengan mangkuk terdengar berulang-ulang ketika Lea mengaduk sup dengan tergesa-gesa. Ia lalu berlari menuju kamar Felix dan mendapati kakaknya sedang membantu Felix membenarkan posisi berbaring.
Setelah mengetuk pintu, Lea meletakkan semangkuk sup itu di meja dan duduk di samping Argan, mengamati Felix yang sedang memejamkan mata. “Pucat banget. Lea panggil dokter aja kalau Kak Felix nggak mau ke rumah sakit,” cicit Lea dan bersiap mengeluarkan handphone.
“Lea ... nggak usah. Jangan panggil dokter,” sela Felix dengan sisa-sisa tenaganya, ia menghentikan tangan Lea. Setelahnya, Felix terbatuk beberapa kali, membuat rasa khawatir Argan berlipat ganda. “Ini juga salahku, kok. Kalian nggak perlu khawatir.”
“Iya juga. Salah sendiri kemarin malam bilang kalau Theo sakit. Tuh, sakitnya malah datang ke Kak Felix,” omel Lea.
Felix terkekeh dan membuatnya terbatuk lagi. “Aku sarankan kalian tinggalin aku aja. Nanti kalau ketularan, aku nggak mau tanggung jawab, nih.”
Argan mendesah. Ia mengambil sup—yang sebenarnya bukan hasil kerja keras Lea—dan hendak menyuapi Felix. “Kita keluar setelah ini habis. Gue suapin, ya? Aa ....”
Lea mengusap tengkuknya dan tersenyum canggung. “Hem, mending Lea duluan yang keluar. Kak Felix harus minum supnya biar cepet sembuh!”
Felix hanya tersenyum menanggapi Lea setelah gadis itu menyisakan ruang untuk Argan dan dirinya. Felix menikmati suapan Argan sampai beberapa kali hingga tenggorokannya terasa nyaman kembali.
“Dua hari lagi lo ulang tahun, Fel. Gue ada rencana ngundang temen-temen, temennya Lea juga kalau boleh.”
“Nggak akan ada pesta tanpa kamu, Argan.”
“Gue bakal ikut, nggak lewat Zoom.”
Felix menggeleng. “Bukannya nggak boleh. Itu sendiri dampaknya ke kamu. Kita rayain berempat aja aku seneng banget. Nanti kalau semisal banyak orang dan balon hijau meletus, nggak hanya hatiku yang kacau, pestaku juga.”
Argan tertawa karena guyonan Felix. Ia mengusap rambut pacarnya itu dan menggesekkan hidung mereka karena gemas. Felix menahan tubuh Argan dan berbisik, “Batuk bisa nular.”
“Sorry but—”
Argan menatap cukup lama pada bibir pucat Felix.
“—yeah, we can't. Batuk bisa nular.”
Keadaan sedikit canggung selama dua menit. Suasana hening di kamar Felix terpecahkan oleh jeritan Lea. Suara berisik itu tentu mengusik Argan dan segera melihat keadaan adiknya. Argan menyesal begitu menemukan Lea dengan kondisi konyol. Seharusnya ia mengabaikan Lea karena gadis itu pasti akan bertingkah aneh di mana pun.
Argan memilih kembali ke kamar Felix untuk melihat Felix lagi. “Lea nggak papa?” tanya Felix.
“Sofa di bawah yang kenapa-napa. Kayak nggak tau Lea aja,” sahut Argan. Kali ini ia mendengarkan kata Felix, sedikit menjaga jarak di antara keduanya. Argan memilih duduk di meja komputer.
“Argan ...,” panggil Felix, lirih sekali. Tak menunggu Argan menoleh, Felix melanjutkan, “Suatu saat ... kalau terjadi sesuatu di antara kita, kamu mau memaafkannya?”
“Tergantung,” sahut Argan. “Sesuatu seperti apa dulu?”
“Aku cuma bilang 'kalau.' Tapi—”
“Tapi apa?”
“Tapi, seandainya sesuatu itu adalah aku pergi dari kamu—”
Argan mendekat dan meletakkan jari telunjuknya di depan bibir Felix. “Eitt, lo cuma batuk biasa dan besok pagi bakal sembuh. Lo sehat dan normal, nggak seperti gue. Jangan bilang aneh-aneh, ya?”
KAMU SEDANG MEMBACA
ARGALEA
Teen FictionArgan tak mengira bahwa Lea, adiknya yang super manja, menye-menye, berisik, dan segala sikapnya yang childish itu ternyata adalah alasannya untuk bisa sembuh dari fobia yang ia hadapi. Argan selalu percaya bahwa kekasihnya, Felix, yang dapat menyem...