ARGALEA : 08

57 17 6
                                    

Sudah dua minggu sejak insiden setelah ulang tahun Felix, Lea tak juga bertemu dengan kekasih kakaknya itu. Ia disibukkan dengan les tambahan dan persiapan ujian. Lea yakin ia akan bersikap canggung setelah bertemu mereka nanti. Ia juga semakin jarang membuang waktunya. Ia lebih menyibukkan diri dengan latihan soal-soal di meja belajarnya. Tumpukan bukunya bahkan melebihi posisi badannya.

Lea merenggangkan badannya sejenak, hendak menyeruput susu cokelat yang Argan letakkan beberapa saat lalu. Lea mengecek kembali, mug bergambar kucing itu ternyata kosong. Sepertinya bukan beberapa saat, namun beberapa jam. Lea pun membawa keluar mug itu untuk ia isi ulang.

Ketika melintasi kamar Argan, Lea tak percaya mendengar hal-hal yang seharusnya tak ia ketahui secepat ini. Telinganya pun kini menempel di permukaan pintu, membuatnya terdengar jelas oleh telinganya. Lea menutup mulutnya, tak percaya Argan melakukan hal itu malam-malam seperti ini.

Lea pun mendobrak pintu kamar dengan kaki kanannya, menemukan Argan dengan wajah terkejut dan sedikit pucat.

“Kak Argan!”

Kakaknya itu segera menutup laptop dan berdiri mendekatinya. “Lo kenapa nggak bilang mau masuk?”

“Sejak kapan Kak Argan suka anime? Jawab Lea!”

“Itu anime action. Bukan yang ada di pikiran lo.”

“Pasti banyak cewek seksinya, kan!”

“Mana ada!”

Lea meletakkan mug-nya di meja dan berjalan mendekati Argan, mau tak mau membuat Argan berjalan mundur dan menabrak sofa. Jari telunjuk Lea mengarah pada wajah Argan. “Ngaku aja sama Lea. Jelas-jelas Lea dengar suara anime cewek, Kak Argan nonton anime yang gituan, kan!”

Argan segera menarik Lea dan membanting adiknya ke tempat tidur, tak lupa membungkus gadis dengan gaun tidur itu menggunakan selimut dan menguncinya dengan ikat pinggang. “Enak aja main fitnah.”

“Kak Argan! Lea kan mau belajar!”

“Udah jam sepuluh. Tidur, gih.”

“Bebasin Lea dulu.”

Hening. Lea mengepalkan tangan kesal karena Argan tak kunjung menolongnya. Ia pun berusaha berdiri dengan tubuh terbalut selimut tebal menuju ke kamarnya. Namun, ketika ia beranjak dari ranjang, tubuhnya tersungkur begitu saja.

“Huaa! Kak Argan!”

Argan langsung mendekati Lea. “Biasanya lo seneng kalau gue bolehin tidur di sini.”

“Bareng Kak Argan?”

“Nggak, gue mau bikin mie.”

Lea semakin kesal ketika Argan meninggalkannya begitu saja. Dengan susah payah, Lea menggerakkan badannya agar terduduk. Tangannya berusaha mencari jalan keluar agar bisa membuka ikat pinggang itu. Dan setelah belasan menit bergelut dengan perkara selimut itu, Lea akhirnya terbebas.

Dengan hati-hati ia membuka laptop Argan, hendak memastikan Argan melihat action ataukah anime—vulgar.

“Lo nggak mau mie?”

Niat jahatnya gagal. Lea berbalik dan menggeleng dengan cepat. “Udah jam segini, Lea bisa gendut.”

Argan pun membawa mangkuk mie-nya dan duduk di sofa, menyeruput kuah panas. “Halah, biasanya juga makan banyak. Ada apa sama Nata? Sering banget dia main ke sini.”

“Nata kan yang ngajarin Lea latihan soal,” jawab Lea beralasan.

“Waktu itu lo bilang Gebi yang selalu ngajarin lo, atau malah lo yang nyalin jawabannya Gebi.”

ARGALEATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang