“Ya udah, Nata ayo pacaran!”
Ekspresi wajah Nata seketika berubah, kedua alisnya bertaut ketika Lea terus menatapnya dengan serius. Tidak ada aura bercanda yang terlihat sama sekali. Cowok itu pun menurunkan kedua tangan Lea dari kedua lengannya, yang tanpa sadar mengubah atmosfer di antara keduanya.
Kali ini Lea menunjukkan wajah aslinya; frustasi, dapat ia rasakan ketika gadis itu mengembuskan napas dengan berat dan membanting diri di sofa.
Nata berusaha menghibur, berjongkok di depan Lea dan menggenggam tangan gadis itu dengan kedua telapak tangannya. Ia juga menghapus air mata yang berkumpul di ujung mata Lea. Nata kemudian tersenyum, memperlihatkan lesung pipinya pada Lea.
“Lea jangan sedih. Nata siap menghibur Lea. Pas Lea ngajak pacaran tadi, jujurly Nata kaget setengah mati. Orang yang Nata suka ngajak Nata pacaran. Siapa yang enggak senang? Tapi, Nata tau kok itu karena spontan aja, kan? It's okay. Kita kan tetangga, kita juga teman sekelas, bahkan lebih dekat dari sahabat. Hubungan kita yang selama ini aja, Nata udah bersyukur banget, Lea.”
Lea mulai terisak, perlahan memperdengarkan tangisannya. “Hiks, Nata bodoh. Orang Lea ngajakin pacaran beneran. Nata kalau menghibur tuh yang bikin Lea bisa ketawa, jangan malah bikin Lea tambah pengen nangis kenceng.”
Nata tertawa canggung. “Eh, eh, tapi kan Lea ce—”
“Emang ngajakin pacaran harus yang cowok? Sama aja, pas Nata bilang suka sama Lea ujung-ujungnya ngajakin Lea pacaran, kan? Sini, kalau jadi pacarnya Lea harus joget dulu.”
Lea berhasil tertawa dibuatnya, dengan gerakan kecil yang sedikit kaku itu membuat Nata semakin imut. Diam-diam Lea berhasil menghilangkan perasaan mengganjal di dalam hatinya. Beranjak dengan semangat yang tiba-tiba, bergabung mengubah gerakan kaku itu menjadi tarian aneh dan tertawa bersama-sama.
Di dalam ruang yang berbeda, Gebi menikmati makan malam yang telah ia buat bersama Adrian, melihat Theo memakan steak dengan sedikit kesusahan, dan ditemani Frank yang makan dengan berantakan. Sisa kue di meja juga menjadi pelengkap. Pemandangan yang akan membuat pemirsa menggeleng dan memaksa senyuman.
“Orang-orang pada ke mana, sih? Beneran kita yang bakal habisin semuanya?”
Adrian mengelap bibirnya dengan tisu. “Gue bungkusin buat anak-anak kos. Mending kita pulang aja. Orang-orang di sini emang rada-rada.”
Theo juga berhenti mengunyah, mengambil Frank dan berjalan ke kamar kemudian mengunci diri. Adrian mengembuskan napas dan mengangkat bahunya, benar-benar mulai membungkus makanan untuk ia bawa.
Gebi pun membereskan piring kotor, namun Adrian menahannya ketika ia hendak mencuci piring. “Biarin aja, nanti mereka nggak ada kerjaan jadinya. Lo juga mau bungkus, nggak? Gue yang bungkusin, deh. Mending lo pulang aja, gue yang antar.”
Angin pun mendecih dengan sikap Adrian yang barusan.
Di ruangan yang berbeda lagi, Argan terus menerima anggur yang Felix tuang untuknya. Mungkin ia kehilangan kesadarannya, namun masih melihat dengan jelas wajah cantik kekasihnya itu. Entah sejak kapan Felix pandai merias wajahnya. Beberapa saat yang lalu, ia juga selesai menghapus warna merah menggoda dengan rasa manis bak stroberi.
Astaga, sejak kapan gaun dengan bagian atas yang sedikit rendah tertutup renda itu mengusiknya? Belahan yang tak sengaja memperlihatkan kaki jenjang kekasihnya itu juga entah datang dari mana. Gaun licin yang akan memudahkannya—jelas-jelas Felix mengganti gaunnya.
Hawa panas kini kian menyelimuti Argan, membuatnya membuka dua kancing bagian atas dan menggulung lengan kemejanya. Felix mendekat dan membantunya melepaskan jas, membuatnya merasakan betapa licinnya gaun itu. “Felixia, you wanna be mine?”
KAMU SEDANG MEMBACA
ARGALEA
Teen FictionArgan tak mengira bahwa Lea, adiknya yang super manja, menye-menye, berisik, dan segala sikapnya yang childish itu ternyata adalah alasannya untuk bisa sembuh dari fobia yang ia hadapi. Argan selalu percaya bahwa kekasihnya, Felix, yang dapat menyem...