ARGALEA : 05

63 15 3
                                    

Lea menatap tatanan bumbu di depannya. Sesekali ia menggaruk kepalanya dan berdecak kesal. “Geb! Sini, deh!”

“Apalagi, Sayangkuh? Gue lagi motong daging, elah! Apa lo mau gue potong sekalian?”

“Ih, Gebi psikopat! Ini Lea kesusahan milih bumbunya. Lea nggak tau garam, gula halus, merica bubuk, ketumbar bubuk, jahe bubuk, kunyit bubuk, Gebi bubuk, apalah itu!”

Gadis tomboi dengan pisau dan apron itu menghela napasnya menatap Lea. “Lo mau bikin gulai, hah? Udah, serahin semuanya ke gue. Lo lebih cocok kalau bersihin piring sama gelas,” katanya santai sambil menggerakkan pisaunya.

“Gebi serem, aaaa!” Lea berlari menuju beberapa tumpuk piring yang perlu dibersihkan.

Beberapa detik Lea menatap piring-piring itu, dia lalu mengeluarkan masker serta kacamata hitam dari dalam mini sling bag yang selalu ia bawa ke mana-mana. Tangannya dengan gemulai mengelap piring-piring itu.

“Hai, guys! Gue bantuin apa, nih?”

“Omegat! Kak Adrian!” pekik Lea, ekspresi terkejutnya yang dibuat-buat itu memancing Gebi untuk terkekeh.

Wait, nggak gitu caranya, Lady! Sini, biar gue bantu!” Adrian mengambil alih pisau dari tangan Gebi, bahkan Lea pun ia abaikan.

“Aku tak tampak dan diabaikan begitu saja~ Teganyaaa~”

Adrian dan Gebi sama-sama tertawa dengan nyanyian Lea baru saja. Tak hanya mereka, Argan yang hendak meletakkan minuman pun turut tertawa.

“Betah temenan sama dia?” tanya Adrian ke Gebi.

Gadis itu menggeleng dan tersenyum menunjukkan gingsulnya. “Dibetah-betahin, sih. Kak Adrian itu temennya Kak Felix?”

“Yap. Gue udah temenan sama Felix dari zaman Paleozoikum. Kalau sama Argan baru pas awal-awal masuk kuliah.”

Gebi mengangguk-angguk dan tanpa sadar mereka melanjutkan perbincangan dari hal yang tidak penting. Itu tak berlangsung lama karena tiba-tiba Lea bernyanyi.

“Kau bicara seolah dunia adalah milikmu dan kau anggap aku hanya membayar sewa~ Kak Adrian kok bisa langsung deket sama Gebi-ku?!”

Gebi mengangkat bahunya dan melihat pekerjaan Lea. “Awas aja lo aneh-aneh, Le. Gue pastiin lo ditembak Nata,” bisik Gebi kemudian.

“Geb, sebelum itu terjadi, Lea bakal laporin ke polisi dengan tuduhan percobaan pembunuhan. Perum kita tuh aman dari tembak-tembakan, Lea bakal laporin itu.”

Gebi membuang napas, lelah menghadapi Lea. Ia berjalan keluar melihat lokasi. Meja dan kursi sudah ditata dengan rapi, bahkan lampu pun telah disiapkan. Gebi menatap Argan sambil melipat tangannya. “Dia itu bodoh, ya?” tanya Gebi dalam hati.

“Lihat apa, Gebi?”

Entah sejak kapan Felix berdiri di sampingnya. Seperti biasa, Gebi tersenyum menunjukkan gingsulnya dan menggeleng. “Hehe. Cuma lihatin Kak Argan doang. Takut ganggu kalau mau bantuin. Lagian, kerjaan di dalem juga masih banyak. Gue masuk lagi, ya, Kak!”

Felix mengangguk dan membiarkan teman Lea itu kembali. Ia lalu mendekati Argan, memegang lengan pacarnya dan bersandar sejenak. “Makasih banyak, Arganta,” bisiknya.

Argan mengambil setangkai bunga Eustoma yang telah ia masukkan ke dalam vas dan memberikannya pada Felix. “Udah, lo tidur aja. Nanti kalau semuanya siap, gue bangunin.”

“Enak aja tidur! Orang aku mau ganti baju terus dandan, kok.”

“Yang cantik.”

Felix berbalik setelah beberapa langkah berjalan. “Jadi, biasanya aku nggak cantik?”

ARGALEATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang