Suami Egois

476 67 1
                                    

Waktu bergilir begitu cepat, tak terasa dua tahun telah berlalu. Nia beserta Ardi menjalani kehidupan rumah tangga jarak jauh. Dulu, saat awal mereka terpisah, keadaan masih sangat kondusif. Ardi masih sering datang mengunjungi anak dan istrinya meskipun hanya sebulan sekali. Nia juga tidak ambil pusing mengenai hal itu. Berusaha mengerti dengan kesibukan dan pekerjaan sang suami. Terlebih saat Ardi mulai bisa memberikan nafkah materi secara penuh di awal-awal Nia dan anak-anaknya tinggal di desa. Hal itu sudah cukup membuat Nia senang. Setidaknya Ardi bisa memahami kondisi Nia yang sudah tak lagi mendapatkan penghasilan.

Namun, hal itu tak berlangsung lama. Dan satu tahun terakhir ini Ardi mulai berubah. Kembali seperti Ardi yang dulu. Perhatian kepada keluarga semakin berkurang. Belum lagi nafkah yang Ardi berikan juga semakin berkurang setiap bulannya.

"Mas, kenapa hanya satu juta?" protes Nia di suatu ketika, tepatnya kala Ardi memberikan ia uang bulanan. Bahkan ini sudah tanggal lima, di mana sudah lewat dari masa gajian Ardi. Sebagai seorang karyawan swasta, Ardi selalu menerima gaji setiap akhir bulan. Dan apabila bertepatan dengan tanggal merah, maka gaji akan diberikan lebih awal biasanya.

Tapi kini, selagi Nia tak meminta, maka Ardi seolah enggan melakukan kewajibannya menafkahi keluarga.

"Sudah, itu pegang saja dulu. Nanti kalau aku pulang, kutambah lagi," jawab Ardi sekenanya.

"Tapi kan, Mas, biasanya kamu pulang satu bulan sekali. Masak iya aku harus menunggunya sebulan lagi," protes Nia masih mencoba memperjuangkan haknya.

"Nanti aku transfer." Ada saja alasan yang mampu Ardi lontarkan.

Setelah mengatakan itu, bergegas Ardi meninggalkan istrinya, keluar dari dalam kamar mereka yang berada di rumah kedua orang tua Rahmania.

Nia hanya bisa menghela napas. Ia tak ingin berdebat dengan Ardi yang ujung-ujungnya akan menimbulkan keributan. Sudah cukup malu Nia pada kedua orang tuanya karena hampir tak pernah akur dengan suaminya. Memilih mengalah dan menatap uang di dalam genggaman tangan.

Satu juta rupiah, meski Nia tinggal di desa, uang senilai itu tetap saja tidak akan cukup untuk menghidupi dirinya dan ketiga anaknya. Bukannya Nia tidak bisa bersyukur dengan nafkah yang diberikan oleh sang suami. Tapi lagi-lagi jika dihitung kembali, semua pengeluaran selama satu bulan tak akan bisa dipenuhi hanya dengan uang satu juta rupiah. Untuk biaya makan dan juga jajan anak. Keperluan susu dan juga diapers. Serta kebutuhan mendadak lainnya yang terkadang tak terprediksi sebelumnya.

Dan jika sudah seperti itu, maka dengan terpaksa Nia harus mengambil uang simpanannya. Hanya untuk menutupi semua kekurangan biaya hidup sehari-hari.

Uang tabungan Nia dari hasil bekerja dan juga pesangon yang ia dapatkan saat di PHK dulu, juga lumayan jumlahnya. Namun, jika diambil sedikit demi sedikit, maka bisa saja uang itu akan habis tak tersisa. Belum lagi saat waktu itu Ardi meminta bantuan kepada Nia. Ya, suaminya itu meminta pada Nia untuk menukar mobil lama mereka dengan yang baru.

Tujuh puluh lima juta rupiah, yang harus Nia keluarkan demi menuruti keinginan sang suami. Menjual mobil lama dan membeli mobil baru di mana uang hasil penjualan mobil lama mereka, masih harus menambah sejumlah itu untuk mendapatkan mobil yang baru. Dalam benak Nia kala itu, mobil baru yang mereka beli itu berukuran lebih besar sehingga mampu menampung anggota keluarganya yang bisa dibilang keluarga besar.

Meski konsekuensinya adalah, uang tabungan Nia harus berkurang banyak. Padahal uang itu Nia simpan guna kebutuhan ketiga anak-anaknya kelak. Nia menyadari bahwa ia tak lagi bekerja dan otomatis setiap bulan tak akan mendapatkan tambahan uang guna menutupi kebutuhan rumah tangga.

Ah, rasanya memang berat jika dirasakan. Menyimpan uang pemberian Ardi ke dalam dompetnya. Meski dalam hati terus berteriak bagaimana caranya mengatur keuangan jika Ardi saja semakin hari semakin pelit kepadanya.

Apa tadi katanya, akan ditransfer. Nia tersenyum miris. Itu tidak akan mungkin terjadi. Karena apa? Itu bukan satu kali ini Ardi ucapkan. Hampir beberapa kali Ardi pernah mengatakan hal yang sama. Nanti akan kutransfer. Dan nyatanya, kala Nia menelpon suaminya dan meminta agar mentransfer sejumlah uang yang ia minta, maka Ardi akan menjawab, " Pakai saja uang simpananmu dulu. Nanti aku pulang akan kuganti."

Menarik napas dalam, lalu ia memutuskan keluar kamar. Nia tak mendapati Ardi lagi. Di ruang televisi hanya ada ketiga anaknya bersama ibunya.

"Bu, Mas Ardi mana?" tanya Nia dengan mata menelisik seluruh penjuru ruangan. Berharap menemukan keberadaan Ardi di sana. Tapi ternyata hasilnya nihil.

"Ardi tadi keluar." jawab ibunya.

"Keluar?" Nia mengernyit, menatap ibunya yang justru sedang menatapnya juga.

"Memang Ardi tidak pamit padamu tadi mau pergi ke mana?" justru ibunya kembali bertanya.

Nia menggeleng. Memang Ardi tidak mengatakan apa pun tadi. Lelaki itu keluar begitu saja. Hal lumrah bagi Nia, tapi menjadi tanda tanya bagi ibunya.

Tanpa mau lagi berpikir tentang Ardi, Nia berjalan ke luar rumah. Membuka pintu dan menatap halaman rumah kedua orangtuanya yang kosong. Tak ada mobil Ardi terparkir di depan sana.

Nia bisa menebak jika Ardi pasti pergi menemui teman-temanya. Lalu mereka akan bersenang-senang di cafe dan berakhir pulang dalam kondisi mabuk akibat mengkonsumsi minuman beralkohol.

Dada Nia terasa sesak. Memikirkan kelakuan suaminya yang tak juga berubah, tapi semakin menjadi saja. Padahal anak mereka sudah ada tiga. Nia kira, dengan semakin bertambahnya anggota keluarga dan juga bertambahnya tanggungan dalam rumah tangga, maka Ardi akan berubah dan tidak lagi suka menghambur-hamburkan uangnya. Nyatanya, tidak sama sekali. Ardi tetaplah Ardi yang mementingkan dirinya sendiri diatas kepentingan keluarga.

Ardi rela memberikan uang satu juta kepada Nia, padahal Nia sangat tahu jika gaji Ardi sebulan bisa enam kali lipat dari yang diberikan kepadanya.

Jika Nia menegur suaminya, maka lelaki itu dengan gampangnya hanya menjawab, "Aku jenuh bekerja. Dan sekarang, selagi aku libur, aku ingin mencari kesenangan untuk diriku sendiri."

Ya, Tuhan! Kenapa masih ada lelaki seperti itu di dunia? Dan kenapa juga harus Nia dan anak-anaknya yang menjadi korbannya.

Sentuhan lembut di pundaknya, membuat Nia terjengit kaget. Menoleh ke belakang dan ibunya yang kini sedang berdiri di belakang tubuhnya.

"Sebenarnya Ardi itu pergi ke mana, Nia? Kenapa tiap kali pulang selalu menjelang subuh?"

Lagi-lagi Nia hanya menggeleng lemah. Memang ia tak tahu ke mana perginya Ardi.

"Aku tidak tahu, Bu," jawab Nia dengan menghela napasnya.

"Apa kamu tidak pernah bertanya ia pergi ke mana setiap malam?"

Dan Nia memilih menggeleng. Meski sebenarnya ia menebak jika suaminya pasti pergi ke sebuah tempat hiburan malam. Namun, ia tak mungkin mengatakan hal itu pada sang ibu.

RAHMANIA (Terpaksa Menikah Dengan Majikan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang