Mulai Hidup Baru

375 43 1
                                    

Bab 11 - Mulai Hidup Baru

"Ni, bagaimana jika kamu refreshing sejenak. Tenangkan pikiranmu. Siapa tahu suasana hatimu akan menjadi lebih baik," usul Budhe Wan ditengah obrolannya bersama Nia. Berpikir sejenak dengan usul yang telah Budhe Wan lontarkan. Dan sepertinya memang tak ada salahnya jika Nia mengikuti saran dari budhenya.

"Budhe benar. Mungkin sebaiknya aku butuh liburan dan menenangkan pikiran."

"Datanglah ke tempat Budhe. Bagaimana? Budhe jamin kamu akan terhibur dan merasa lebih baik lagi nanti," ucap Budhe Wan selanjutnya tentu membuat Nia mengernyit.

"Maksud Budhe, aku datang ke tempat Budhe di Jakarta?" tanya Nia memastikan.

"Ya, iyalah, Nia. Datanglah ke sini jika kamu mau?"

Lagi-lagi Nia kembali berpikir. Sebenarnya ia ingin sekali pergi menjauh dari kerumitan hidupnya. Dan apa yang dikatakan Budhe Wan memang salah satu solusi.

"Budhe ... seandainya aku kerja di tempat Budhe, apa boleh?" tanya Nia. Ya, saat ini memang Nia membutuhkan pekerjaan. Dari hasil berjalan kue secara online menurutnya juga kurang banyak menguntungkan. Tak ada salahnya jika dia bekerja sebagai apapun juga yang penting Nia ada pemasukan. Dengan harapan besar, dia bisa mengumpulkan uang serta mengambil kembali ketiga anaknya yang ada di tangan Ardi, mantan suaminya. Bukankah alasan Ardi mengambil hak asuh anaknya karena ia tidak bekerja. Jika nanti mulai bekerja maka Nia bisa mengumpulkan uang sehingga tak ada alasan lagi nantinya dia tak bisa mengambil hak asuh atas ketiga anaknya.

"Sebenarnya bisa saja. Tapi apa kamu yakin dengan permintaanmu tadi?"

"Aku yakin, Budhe. Saat ini aku sedang membutuhkan pekerjaan."

"Ya, sudah begini saja. Untuk sementara waktu kamu berlibur saja dulu sambil melihat-lihat situasi di sini seperti apa. Seandainya nanti kamu cocok, Budhe tidak akan keberatan jika kamu mau ikut bekerja di sini."

"Terima kasih, Budhe."

"Jangan lupa, bicarakan hal ini pada bapak dan ibumu. Nanti Budhe yang akan bantu mengenai surat lamaran dan semua berkas yang dibutuhkan agar kamu bisa bekerja di sini."

"Iya, Budhe. Terima kasih banyak."

"Baiklah. Nanti kabari Budhe jika kamu sudah siap berangkat."

"Iya, Budhe. Aku akan segera memberi kabar lagi nanti."

Setelah panggilan teleponnya usai, Nia berpikir sejenak. Benarkah ia siap untuk pergi jauh. Tapi semua demi masa depannya dan ketiga anaknya. Tak ada salahnya Nia mencoba keluar dari zona nyaman demi sebuah harapan dan impian yang begitu besar.

Malam harinya Nia yang sedang bersantai bersama bapak dan ibunya, mencoba mengutarakan niatnya. Menceritakan tawaran budhenya melalui telepon tadi siang.

"Ibu setuju saja dengan apa yang Budhe katakan. Mungkin kamu butuh berlibur agar hatimu kembali tenang. Akan tetapi jika mengenai bekerja, itu semua tergantung kepadamu, Nia. Apa nantinya kamu betah berada di sana? Bekerja di Ibukota jangan kamu samakan dengan bekerja di daerah sendiri. Jika kamu sudah memutuskan maka kamu tak akan bisa mundur lagi."

"Aku sudah memikirkannya, Bu. Mungkin sementara aku akan tinggal di tempat Budhe sembari merasakan dan melihat-lihat bagaimana sistem bekerja di sana. Jika aku rasa mampu, apa Ibu dan Bapak akan mengizinkanku?"

Bapak dan ibu Nia saling pandang lalu keduanya mengangguk berbarengan. Bibir Nia tersenyum.

"Terima kasih, Pak, Bu. Maafkan Nia selalu merepotkan."

"Kamu ini anak kami, Nia. Tak ada namanya merepotkan."

Sungguh beruntung sekali Nia yang memiliki keluarga begitu menyayanginya. Bapak dan ibu yang selalu mendukung dan selalu berada di sisinya bahkan di saat Nia terpuruk sekalipun.

Satu bulan ini Nia jalani begitu berat. Dan hanya kepada bapak dan ibunya ia bersandar. Tak bisa bertemu dengan anak-anaknya adalah penyiksaan yang begitu besar dan sungguh sangat menyiksa baik fisik dan hatinya. Keputusan yang akan ia ambil kali ini telah Nia pikirkan dengan baik. Nia ingin menata kembali hidupnya. Siapa tahu suatu ketika ia bisa kembali bersama dengan ketiga anaknya.

Dua hari setelahnya, Nia sudah mendapatkan tiket untuknya dapat berangkat. Semua rencana dan jalan Nia seolah memang dipermudah. Lancar tanpa hambatan.

Dalam kurun waktu satu hari kemudian, Nia benar-benar meninggalkan rumah kedua orang tuanya. Wanita itu pergi ke Ibukota Jakarta. Ibu Nia sangat berat melepas anaknya, akan tetapi karena Nia mengatakan jika tujuan awalnya adalah hanya ingin berlibur dulu, ibunya kembali tenang.

"Semoga kamu kerasan tinggal bersama budhemu. Dan jika kamu ingin pulang, pintu rumah ini masih terbuka lebar untukmu."

"Terima kasih, Pak, Bu. Nia pamit."

Nia pergi. Berusaha menghilangkan semua luka yang ia alami selama ini. Dengan sebuah harapan saat ia kembali nanti, semua akan menjadi lebih baik dari sebelumnya.

****

Siapa sangka jika Nia telah meninggalkan kampung tempat tinggalnya dan sekarang kakinya menapaki keramaian kota yang belum pernah ia kunjungi sebelumnya. Menghirup dalam udara di sekitarnya, mengisi seluruh paru-parunya. Tak terasa buliran air menetes di sudut matanya. Ia usap dengan punggung tangan. Menghela napasnya dan kembali berjalan menyusuri bandara. Tadi Budhe Wan mengatakan bahwa akan menjemputnya.

Di tengah kerumunan orang, mata Nia mengawasi setiap sudut bandara berharap segera menemukan Budhe Wan. Begitu ekor matanya menangkap sesosok wanita paruh baya yang melambaikan tangan ke arahnya, senyum Nia mengembang. Menarik kembali koper besarnya, berjalan cepat menghampiri Budhe Wan.

"Nia!" Budhe Wan dengan semangat menyambut kedatangan keponakannya dan merentangkan kedua tangannya.

Nia begitu saja berhambur ke pelukan Budhe Wan. Meluapkan segala rindu karena begitu lama mereka tak bertemu. Ada sekitar tiga tahun mereka tidak bertemu. Waktu itu, Budhe Wan pernah pulang ke kampung halaman saat Nia baru saja melahirkan anak ketiganya.

"Budhe, apa kabar?" tanya Nia begitu pelukan mereka terlepas.

"Budhe baik, Nia." mata tuanya meneliti Nia dari atas ke bawah. Dengan wajah sendu, Budhe Wan berkata, "Kenapa kamu jadi kurus seperti ini."

Ya, Tuhan! Nia tak mampu menjawab dan hanya menyunggingkan senyuman. Budhe Wan yang tak mau membahas mengenai masalah rumah tangga Nia, memilih menarik lengan wanita itu membawanya keluar dari bandara.

Budhe Wan telah mengetahui semua cerita rumah tangga Nia dari adiknya yang tak lain adalah ibu Nia. Ikut prihatin dengan apa yang menimpa keponakannya. Dengan mengajak Nia datang ke kota setidaknya agar keponakannya itu sedikit menghibur diri. Agar tak lagi larut akan kesedihan. Dan Nia bisa melupakan mantan suami yang kurang ajar itu. Nia adalah keponakan kesayangan Budhe Wan. Mengingat Budhe Wan yang hanya memiliki dua orang anak laki-laki. Jadi beliau telah menganggap Nia seperti anaknya sendiri. Melihat sendiri bagaimana Nia saat ini, sungguh membuat Budhe Wan merasa sangat sedih. Tak seharusnya Nia mengalami hal buruk seperti ini. Berdoa dalam hati semoga Nia segera menemukan kebahagiaannya kembali.

RAHMANIA (Terpaksa Menikah Dengan Majikan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang