Sedih

360 53 3
                                    

Bab 10 - Sedih

Sebenarnya yang membuat Nia terpuruk pasca perceraian bukan karena berpisah dengan Ardi. Melainkan karena ia harus terpisah dengan ketiga anaknya. Ya. Ardi memang telah mendapatkan hak asuh atas ketiga anaknya. Entah dengan cara apa Ardi bisa memanipulasi semuanya. Yang jelas, saat persidangan Ardi menuding Nia yang tak bekerja sehingga tak akan mampu membiayai hidup ketiga anaknya. Hingga putusan pengadilan menjatuhkan hak asuh sepenuhnya pada Bagas Ardi.

Sungguh miris memang nasib Nia. Kehilangan suami dan juga ketiga anaknya. Ini sudah satu bulan berlalu pasca perceraiannya. Dan Nia masih ingat betul bagaimana saat Ardi membawa paksa anak-anaknya.

Bayangan Raka yang menangis kala harus berpisah dengannya. Anak pertamanya yang memang begitu dekat dengan Nia. Lelaki yang sudah mulai beranjak remaja di usia ke dua belas tahun. Sudah paham betul dengan perangai sang papa selama ini. Tapi sekeras apapun Raka menolak ajakan papanya, tetap saja Ardi yang menang. Sementara Reza dan Rafi, mereka masih terlalu kecil untuk mengetahui mengenai perpisahan kedua orangtuanya. Dan hanya menurut saja saat sang papa membawa keduanya.

"Nia!" tepukan lembut di bahu membuat Nia terjengit kaget.

Wanita itu sedang menyendiri, duduk di atas ranjang di dalam kamarnya. Bahkan ibunya sangat iba melihat kondisi Nia yang sekarang. Badannya semakin kurus karena tidak mau makan. Jikalau pun mau, saat ibunya menyuapi itu pun hanya satu atau dua sendok saja yang bisa masuk ke dalam mulut Nia.

"Sudah hampir maghrib. Sebaiknya kamu mandi dulu," pinta ibunya dengan nada yang sangat lirih.

"Aku kangen anak-anak, Bu," jawab Nia mendongak menatap ibu yang berdiri di sampingnya.

Pecahlah tangis Nia. Memeluk ibunya dengan isak tangis yang tak mampu ditahan lagi.

Sebenarnya waktu itu Nia sudah berencana mengajukan banding mengenai hak asuh anak. Akan tetapi Bapak yang melarangnya. Selain nanti akan semakin memperkeruh suasana juga kasihan pada anak-anak Nia yang harus menjadi rebutan kedua orang tuanya yang sedang berselisih.

Nia masih ingat kata-kata bapaknya waktu itu, "Biarkan Ardi merasakan menjadi orang tua sesungguhnya bagi anak-anakmu. Dan biarkan lelaki itu ikut merasakan bagaimana repotnya kamu selama ini membesarkan mereka. Mengurus anak itu tidak mudah. Dan selama ini Ardi telah mengabaikannya. Sekarang, biarkan saja ia tahu bagaimana menjadi orang tua yang baik untuk ketiga putranya."

Nia pun setuju dengan apa yang bapaknya ucapkan. Selama ini Ardi tak pernah mau tahu tentang anak-anaknya. Bahkan seorang anak itu tidak hanya membutuhkan makan. Tetapi juga membutuhkan didikan dan kasih sayang. Dan Ardi tak pernah memberikan hal itu sama sekali. Meskipun demikian, Nia berusaha tenang dan mensugesti diri jika anak anaknya akan baik- baik saja. Mereka tidak sedang bersama orang lain melainkan bersama bapaknya. Tidak mungkin bapaknya sendiri tega menyakiti anak kandungnya.

Nia terus saja ketakutan. Bagaimana jika anak-anaknya saat bersama Ardi tak ada yang mengurus. Bagaimana makanan minumnya. Ya, Tuhan! Lama-lama Nia bisa gila jika terus-terusan seperti ini. Rasa khawatir yang berlebihan sanggup menghancurkan hidupnya sendiri.

Nia bangkit dari atas ranjang disusul oleh ibunya. Masuk ke dalam kamar mandi dan segera membersihkan diri.

Selesai ia mandi. Menatap pantulan dirinya di depan cermin. Pipi yang dulu berisi sekarang tak lagi terlihat. Hanya pipi tirus yang bahkan terlihat sekali tulang pipinya yang menonjol. Sampai-sampai Nia tak mampu mempercayainya.

Nia memejamkan mata. Ia tak boleh seperti itu terus menerus. Nia harus bangkit dan menata kembali hidupnya yang sempat hancur. Jika Sampai Ardi tahu kondisinya yang seperti ini. Bukan tidak mungkin lelaki itu akan mengoloknya. Tidak. Itu tidak akan terjadi. Nia harus menunjukkan pada Ardi jika dia mampu menjadi Nia yang lebih baik tanpanya. Wanita itu bertekad harus bangkit. Semua demi anak-anaknya. Nia yakin suatu ketika Ardi pasti akan kewalahan mengurus ketiga putranya dan pada saat itu tiba Ardi akan mengembalikan ketiga anaknya kepadanya.

***

Satu minggu berlalu, kondisi Nia semakin membaik. Ia benar-benar bangkit untuk menata masa depan kembali menjadi lebih baik. Tentu saja hal itu membuat kedua orang tuanya merasa senang. Dengan bersemangat keduanya memberi dukungan pada Nia.

Dan mulai hari itu juga, Nia kembali bergelut dengan peralatan bakingnya. Kembali dari nol menjalankan bisnis yang sempat hiatus cukup lama. Semenjak Nia mengurus perceraiannya bersama Ardi yang tentunya memakan waktu beberapa bulan lamanya.

Dan sekarang, Nia terlihat lebih segar dan bugar. Sudah mulai berusaha dan memaksakan diri untuk mau mengunyah makanan. Ikut olahraga juga yoga yang sudah tiga hari ini Nia jalani.

Belum juga ia memegang mixer, tiba-tiba ponsel yang ia letakkan di atas meja berdering. Terpampang di layarnya terdapat sebuah video call dari sebuah nomor yang ia kenal. Nia sudah tahu siapa yang sedang meneleponnya. Dengan segera mengangkat panggilan video call tersebut, dan memilih menunda acara baking-nya.

Begitu layar ponsel ia gulir ke atas, wajah berseri Bude Wan terpampang di hadapannya. Bude Wan adalah kakak kandung ibunya Nia. Perempuan berusia enam puluh tahun itu sudah cukup lama meninggalkan kampung untuk bekerja di ibukota.

Tepatnya, dua puluh lima tahun silam, semenjak suami Bude Wan meninggal dunia, beliau memutuskan untuk pergi merantau. Keberuntungan pun berpihak pada beliau. Karena saat Bude Wan menginjakkan kaki di ibukota, beliau langsung mendapat pekerjaan yang cukup layak. Bekerja di salah satu yayasan panti wreda. Dan karena kinerja Bude Wan yang bagus juga cekatan, pada akhirnya beliau dipercaya menjadi salah seorang pengurus panti tersebut. Dan semenjak itu Bude Wan benar-benar memilih menetap dan tinggal di sana. Sementara itu, kedua anak Bude Wan adalah dua orang laki-laki yang sudah memiliki keluarga masing-masing dan tinggal di luar pulau jawa.

"Nia ... apa kabarmu?" tanya Bude Wan dengan wajah berbinar. Tidak satu kali ini saja Bude Wan menghubungi Nia. Wanita itu kerap sekali menghubungi Nia atau ibunya hanya sekedar bertanya kabar atau bercerita segala hal mengenai keluarga.

"Alhamdulilah, Bude. Nia sehat."

"Syukurlah. Tapi, Nia. Wajahmu kok pucat?" cerca Bude Wan.

Nia berusaha memaksakan senyuman. Tapi Bude Wan paham jika sebenarnya ada hal yang Nia sembunyikan.

"Apa masalahmu dengan Ardi belum beres?"

Nia menghela napas. "Sebenarnya semua sudah beres Bude. Aku dan Ardi sudah mengantongi surat resmi perceraian kita. Hanya saja ... aku masih saja kepikiran anak-anak."

"Bude tahu apa yang kamu rasakan, Nia. Berpisah dengan anak itu memang berat. Bude sudah pernah mengalaminya sendiri."

Apa yang dikata Bude Wan benar adanya. Memang dulu saat Bude Wan memutuskan bekerja di Ibukota, dengan terpaksa Bude harus meninggalkan anak-anaknya untuk diasuh oleh nenek Nia.

RAHMANIA (Terpaksa Menikah Dengan Majikan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang