Hari Pertama

42 4 0
                                    

Bab 17 - Hari Pertama

Acara berbelanja yang tidak membutuhkan waktu lama karena Nia melakukannya dengan sangat cekatan. Ini bukan pertama kalinya Nia mengunjungi supermarket yang ada di kota ini. Lebih tepatnya mungkin ini sudah yang ketiga kali Budhe Wan pernah membawanya pergi ke salah satu swalayan untuk berbelanja juga. Dan waktu itu Nia gunakan untuk banyak melihat-lihat sehingga saat ini dia sudah tidak lagi asing dengan tempat semacam ini. Swalayan yang tidak jauh beda dengan yang ada di kota tempat tinggalnya dulu. Memudahkan Nia dalam memilih barang yang akan dibelinya. Nia tak ingin membeli barang dalam jumlah banyak, dan ia juga hanya membeli barang yang memang sangat ia butuhkan. Meksipun Yusuf sudah mengatakan jika Nia bisa membeli apa saja, akan tetapi hal itu tak lantas menjadikan Nia gelap mata dengan membeli barang yang tidak ia perlukan.

Cukup membeli beras adalah hal yang paling utama. Lalu gula, garam dan sejenisnya, termasuk di dalamnya aneka jenis bumbu dapur yang bisa ia pakai sebagai bumbu masak. Lalu aneka sayuran, daging dan beberapa jenis buah-buahan. Tak lupa membeli peralatan mandi dan juga peralatan kebersihan seperti sabun cuci dan pembersih lantai.

"Yakin sudah kebeli semua? Tak ada lagi yang ketinggalan. Selagi masih ada di sini kamu ingat-ingat lagi," ujar Yusuf.

Nia berpikir lagi sambil meneliti aneka macam barang yang sudah berada di dalam troli belanjanya. "Saya rasa sudah semuanya, Mas. Jika nantinya ada yang masih terlewat, saya bisa membelinya sendiri. Lagipula saya sudah tahu di mana letak swalayannya berada."

"Baguslah kalau begitu. Ayo kita pulang." Yusuf mengambil alih troli dari tangan Nia. Mendorongnya menuju kasir tanpa menghiraukan beberapa pasang mata yang tampak kasak kusuk di belakangnya. Mungkin saja ada yang mengenali keberadaan seorang Yusuf Ramadhan. Gegas membayar semua belanjaannya pada kasir sesuai nominal yang tertera di layar komputer. Dan sambil menenteng beberapa kantong belanjaan, Nia mengekori Yusuf menuju tempat parkir. Selesai menata barang ke dalam bagasi, keduanya pun kembali masuk dan bersiap pulang.

Helaan napas panjang keluar dari sela bibir Yusuf. Nia jadi merasa tidak enak hati karena mungkin sudah membuat Yusuf capek. Pria itu menyandarkan pungungnya pada jok mobil. Nia hanya berani menatap sekilas tapi tak berani bertanya karena sesaat setelahnya Yusuf telah menjalankan mobilnya meninggalkan swalayan. Saat melewati sebuah resto cepat saji, Yusuf membelokkan mobilnya langsung menuju ke area drive thru. Memesan beberapa makanan lalu kembali melanjutkan perjalanan begitu makanan yang ia pesan sudah berada di tangan. Masih tanpa kata, akan tetapi di dalam hatinya, Nia patut bersyukur mendapat majikan yang baik meski yang Nia tahu kebanyakan orang kaya akan bersikap sok dan semaunya.

Sampailah mereka di rumah. Yusuf membantu Nia membawakan belanjaan mereka dan meletakkannya di atas meja makan.

"Letakkan di situ saja, Mas," pinta Nia menunjuk meja makan.

"Kenapa tak langsung di simpan saja."

"Saya harus memilah-milah dulu belanjaan ini, sebelum menyimpannya."

Yusuf hanya ber-oh saja karena ia tak seberapa tahu mengenai pekerjaan rumah tangga semacam itu.

"Ni, kamu lapar, kan? ini makan saja dulu, baru kamu lanjutkan pekerjaanmu itu."

Nia yang sedang membuka beberapa kantong belanjaan mendongak menatap Yusuf. Lelaki itu sudah menarik salah satu kursi tepat di hadapan Nia. Lalu mulai membuka bungkus makanannya. Tanpa peduli pada Nia yang masih menyingkirkan beberapa kantong belanja yang masih berserakan di atas meja. Bahkan tanpa risih, Yusuf makan di antara kantong belanja berisi sayur dan ikan yang belum sempat Nia bereskan.

Memilih membiarkan saja pekerjaannya yang tertunda dan ia pun mengikuti Yusuf duduk di salah satu kursi kosong. Membuka kotak makanan dan mulai menyuap ke dalam mulutnya. Tanpa Nia sadari jika Yusuf sesekali memperhatikan wanita yang duduk tak jauh darinya itu.

***

Sore harinya saat Nia sedang menyapu rumah, Yusuf menuruni anak tangga. Lelaki itu menuju lantai satu rumahnya, berhenti sebentar kala mendapati Nia yang sedang berjongkok menggapai kotoran di bawah kursi.

"Ni!" Panggilan Yusuf membuat Nia terlonjak kaget. Entah kenapa saat ini sering kali Nia terkejut acapkali mendengar sapaan atau panggilan dari Yusuf. Segera menegakkan tubuhnya masih dengan sapu di tangan kanan.

"Iya, Mas."

"Kamu jaga diri baik-baik di sini. Tak perlu takut apapun karena di rumah ini tak ada apa-apa. Jika kamu membutuhkan sesuatu atau ada hal yang ingin kamu sampaikan atau tanyakan padaku, telepon saja aku."

Setelahnya Yusuf membuka dompet dan menyerahkan sesuatu pada Nia.

"Apa ini, Mas?" tanya Nia sebelum menerima uluran tangan Yusuf.

"Terimalah. Ini uang untuk biaya operasional rumah ini serta kartu namaku. Di situ ada nomor teleponku yang bisa kamu hubungi."

Nia menerima apa yang Yusuf beri kepadanya. Memperhatikan sebentar kartu nama di tangannya. Juga menggenggam uang yang Yusuf berikan.

"Aku pergi dulu dan aku tak tahu kapan akan kembali ke rumah ini. Kamu paham, Ni."

Nia lagi-lagi hanya bisa mengangguk. "Saya paham, Mas."

"Baguslah jika kamu paham."

Yusuf berlalu dari hadapan Nia yang masih mematung dalam diam. Hingga suara deru mobil milik Yusuf menyadarkan ia akan lamunan. Bergegas menuju pintu depan dan lega hati Nia karena pintu sudah dalam kondisi tertutup. Segera Nia menguncinya dari dalam dan memutuskan untuk melanjutkan pekerjaannya.

Hingga malam menjelang barulah Nia merasakan hawa kesepian di dalam rumah sebesar ini. Mana dia sendiran lagi. Sebenarnya tadi ia baik- baik saja saat menonton televisi. Hanya saja semakin beranjak malam entah mengapa Nia merasa semakin kesepian. Segera mematikan televisi dan memilih beranjak masuk ke dalam kamarnya.

Tadi setelah kepergian Yusuf, Nia telah menelepon ibunya dan mengabarkan bahwa ia telah mendapatkan sebuah pekerjaan. Nia pun jujur jika dia bekerja menjadi seorang asisten rumah tangga. Terdengar ibunya menang dan Nia yang tak kuat mendengarnya, buru-buru mematikan sambungan telponnya. Hati Nia teriris acapkali mendengar suara ibunya. Ia sangat merindukan ibu dan bapaknya. Terlebih ketiga anaknya.

Nia pikir dengan jauh dari keluarga, maka ia akan mudah melupakan mereka. Nyatanya ia salah karena semakin ke sini rasa rindu yang berusaha ia pendam terus menghantuinya. Suara canda tawa anak-anaknya, suara tangis Rafi yang merupakan putra ketiganya, semua terekam jelas di ingatan Nia. Dan kini hal itu yang memicu Nia menangis tersedu-sedu hingga semalaman susah tertidur.

Nia merutuki dalam hati karena ia justru membiarkan kesedihan berlaut-larut menguasai dirinya.

Bangun tidur di pagi harinya, mata Nia terasa berat karena kantung matanya yang bengkak akibat menangis semalaman. Ia harus mengompres matanya yang masih terasa berdenyut nyeri pagi ini.

RAHMANIA (Terpaksa Menikah Dengan Majikan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang