03. Sisi Lain Seorang Gentala

216 112 251
                                    

Misi mendiami Genta selama 24 jam penuh sepertinya berhasil. Mulai sore kemarin sepulang dari supermarket hingga sore ini, aku sama sekali tidak berbicara dengan Genta. Jangankan berbicara, menatap matanya saja rasanya terlalu malas. Aku rela berangkat ke sekolah lebih pagi dari biasanya supaya tidak berangkat bersama Gentala.

Sesampainya di kelas tadi, aku juga tidak bertegur sapa dengan Gentala. Bahkan, Risha yang notabennya teman satu meja ku merasa terheran mengenai sikapku yang selalu menghindar apabila Gentala berada di dekatku. Intinya aku menjauh dari radar Genta, yang pasti hanya sementara tidak mungkin kalau selamanya. Bisa bahaya kalau aku benar-benar menjauhi dia dan dia menjauhi aku balik selamanya.

Saat pulang sekolah tadi, pergelangan tanganku langsung dicekal Genta ketika aku hendak menyampirkan tas ke pundak. Cowok itu menyodorkan secarik kertas padaku lalu melengos pergi entah kemana. Aku mulai membaca tulisan itu dengan teliti, sesekali terkekeh geli. Ada-ada saja cowok itu.

Sementara yang ditulis sama Gentala memakai spidol warna hitam:

Hallo cantik, dengan manusia tampan di sini.
Aku cuma mau bilang kalau aku habis ini mau kumpul dulu sama anak ekskul voli.
Aku juga tau kalau kamu blokir kontakku dari kemarin. Pantesan waktu aku telepon balik nggak bisa. Jangan lupa buka blokiran nya, Ayresha. Lop u.

Tertanda,

Gentala Stefanus

Aku jadi teringat dengan dompet cokelat tua yang ada di saku hoodie. Aku sebenarnya sudah mencari alamat rumah Braspati. Tetapi, rumahnya lumayan jauh dari daerah rumahku. Mau tidak mau aku harus merogoh saku untuk mengambil uang di dompetku. Aku mulai memakai hoodie abu-abu tua yang menggantung di pegangan lemari, sedikit membenarkan tatanan rambut dan mengoleskan bedak tipis lalu keluar kamar.

Sesampainya di ruang tamu, aku melihat sosok Gentala. Dia bahkan sudah duduk anteng di sofa sembari memakan kue kering yang berada di atas meja, dia pikir ini rumahnya kali ya? Kapan juga datangnya? Bahkan aku tidak mendengar suaranya sama sekali.

"Kamu ngapain tanya ke Fatheo, Ergi, sama Varil tentang daerah Kamboja yang ada di kampung sebelah?"

Pertanyaan yang dilontarkan Gentala untuk pertama kalinya ini mampu membuatku mematung beberapa detik. Dia tahu hal itu darimana? Apakah teman-temannya Genta memberitahu cowok itu? Cepu banget astaga. Aku tersadar, lalu melanjutkan jalanku. Tidak menggubris sama sekali pertanyaan Genta.

"Selagi punya telinga untuk mendengar dan punya mulut untuk bicara itu gunain. Mubadzir banget Allah nyiptain kalau nggak dimanfaatin sesuai fungsinya," kata Genta lagi. Kali ini dibumbui sindiran yang sangat menyebalkan bagiku.

Ck, anak itu, ya!

Aku langsung menghentikan langkah dan berbalik menghadap Genta yang sudah berdiri sambil menyenderkan tubuhnya pada sofa dengan satu tangan dimasukkan dalam kantong hoodie hitamnya.

Mataku menyipit tajam. "Ada urusan." Aku menjawab seadanya.

Dia melangkah maju mendekatiku. "Urusan apa? Kenapa gak tanya langsung ke aku aja daripada ke mereka?" tanyanya kepo sekali. Dia kalau sudah kepo seperti ini pasti sangat berisik.

"Mau ke rumahnya Braspati buat balikin dompetnya yang kemarin aku temuin di supermarket," ujar ku sambil mengangkat dompetnya.

Genta mengangkat alis kirinya. "Braspati Havi?" Tanyanya yang membuatku sedikit terkejut. Anak itu tau darimana lagi? Aku suka heran sama Genta yang banyak tau dan tak jarang sering bercerita kepadaku yang bahkan aku saja tidak mengetahui. Mempunyai teman seperti Gentala ternyata ada untungnya juga.

FATAMORGANA [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang