Prolog

981 66 22
                                    

       Aku pernah mendengar cerita sahabat Abdullah bin Abbas salah satu sahabat Rosulullah yang gila akan ilmu. Tak hanya sahabat, beliau adalah sepupu Rosul. Kegilaannya akan ilmu membuatku tersadar, bahwa aku juga merasakan apa yang di rasakan Abdullah bin Abbas. Hari ini kabar gembira itu datang tak terduga, saat aku masih berada di dalam kelas untuk mengajar murid-muridku. Sebuah surat dengan bubuhan logo dan tulisan yang aku tahu pasti surat itu datang dari mana. Tak langsung ku baca, kuletakkan di meja lalu ku lanjutkan mengajar. Sejujurnya hari itu hatiku berdetak kencang, menerka-nerka apa isi surat. Semoga kabar gembira.

Selesai mengajar, aku bergegas untuk pulang kerumah, jarak antara rumah dan sekolah tak cukup jauh. Ku kayuh sepedaku dengan cepat tak sabar ingin bergegas membuka surat itu.

“Assalamu'alaikum Umi.” Kuletakkan sepeda itu di depan rumah dan bergegas masuk kedalam Rumah, ku cium punggung tangan Umi.

“Kenapa buru-buru sekali?” Tanya Umi yang sadar dengan tingkahku tak seperti biasanya. Aku pun memutuskan duduk di sebelah Umi. Ku ambil amplop putih itu.

“Umi, hari ini Fatma dapat surat dari Kedutaan Besar Republik Korea. Entah apa isi surat di dalamnya, Fatma hanya bisa berharap ini adalah kabar gembira.” Umi paham betul apa yang aku inginkan selama ini, melanjutkan pendidikanku di negeri Ginseng itu. Segala cara telah aku lakukan, semua tes juga aku ikuti. Dan hari ini adalah jawaban dari usaha kerasku selama ini. Apapun itu maka akan aku terima.

“Bismillah Nduk, Insyaalla hasil yang memuaskan sedang menanti, apapun itu Umi tetap bangga sama kamu.” Umi menyentuh pundakku. “Cepat buka, Umi sudah tidak sabar, Cepat Fatma!”

“Sabar Umi, ini Fatma buka kok.” Aku pun mulai membuka amplop itu. Ku buka lembaran yang ada di dalam amplop itu.

Berdasarkan hasil seleksi tes calon penerimaan beasiswa Seoul, dengan ini dengan hormat disampaikan Tim Pendidikan KBRI Seoul menetapkan bawah anda dinyatakan Lulus.

Fatmawati Abizarra

Calon Beasiswa yang dinyatakan lulus  akan dihubungi oleh Tim Pendidikan KBRI Seoul, untuk melakukan wawancara lebih lanjut dan memenuhi perlengkapan untuk segera melakukan pendidikan.

“Masyaallah Umi, Ya Allah ya Rabbi. Fatma lulus Umi.” Aku benar-benar tak menyangka bahwa hari itu adalah hari bahagia bagiku.

“Fatma!” Panggil seseorang dari kejauhan.

“Sedang apa kamu?” Dengan logat koreanya yang benar-benar kental perempuan itu menghampiriku.

“Aku rindu ibu Min-ah.” Ujarku sembari menatap ponsel yang berisi foto Umi, Abi dan juga Laila adik perempuanku.

“Mereka pasti juga merindukanmu, Fatma. Kenapa ngga telpon aja?” aku menggeleng, aku bukan tak mau. Namun aku takut meneteskan air mata di depan mereka. Hari ini setahun sudah aku berada di negeri Gingseng ini. Iya aku sudah berada di Seoul, semua proses pemberangkatanku tak banyak kendala, Umi Abi dan juga Laila sangat senang melihat aku sudah hampir menggapai cita-cita yang aku inginkan selama ini.

“Fatma ikut aku!” tiba-tiba Min-ah menarik tanganku.

“Kemana?” tanyaku sembari mengikuti langkah Min-ah.

Kalau kalian tahu, di sini berbada dengan Indonesia, lebih banyak orang berjalan kaki. Ya meski pun masih ada yang memakai kendaraan, aku rasa alat itu tak akan lepas dari seluruh manusia di permukaan bumi ini.

“Kita mau kemana Min-ah.” Tanyaku sekali lagi, Min-ah tak menjawab ia terus menarik tanganku hingga tepat kita kan menyebrang Jalan.

“Min-ah lepaskan tanganku, aku bisa berjalan sendiri.” Aku mencoba menarik tanganku.

“Hehehe maaf Fatma, kalau kau tak di paksa mungkin kau tak akan mau ikut dengan ku.”

“Maksudmu ketempat itu?” Fatma menunjuk sebuah  kedai makanan, dan Min-ah mengangguk mengiyakan.

“Tapi Min-ah, kau tak lihat aku memakai cadar, berhijab. Tidak mungkin aku makan di tempat itu, apalagi aku tidak tahu apakah ada makanan halal atau tidak di tempat itu.” Fatma benar-benar tak habis pikir dengan jalan pikiran Min-ah, padahal sudah berkali-kali Fatma mengatakan hal ini kepadanya, namun hal itu tetap saja ia lakukan.

“Sebentar saja.” Min-ah kembali menarik tanganku saat lampu hijau untuk pejalan kaki  menyala.

“Sebentarmu itu lama Min-ah.” Min-ah tetap tak perduli dengan apa yang aku katakan ia benar-benar menarik paksa aku hari ini. Aku sekali lagi berusaha mengimbangi langkahnya, beberapa kali aku juga menerobos orang yang ada di depanku. Hingga seseorang menabrakku dengan sangat keras, aku tersungkur ke jalan. Min-ah yang menyadari aku terjatuh, berteriak terkejut memanggilku.

Mianhae...” Ujar laki-laki yang menabrakku. Laki-laki ini tinggi, putih dengan sorot mata yang begitu menenangkan. Berkali-kali ia meminta maaf pada ku sembari membungkukkan badannya.

Gwaenchanayo.” jawabku sembari berusaha berdiri. Ada yang spesial dari laki-laki ini, ia tak mau mendekat denganku, tak mau memandang wajahku. Ia tetap menunduk sembari meminta maaf, berbeda sekali dengan laki-laki korea yang aku temui selama ini.

“Kamu tidak apa-apa Fatma?” Tanya Min-ah padaku. Aku menggeleng padanya.

“Makanya kalau jalan itu pakai mata dong, udah tahu jalan raya, jalan pakai dengkul.” Maki Min-ah pada laki-laki itu.

“Min-ah. Udah dia nggak salah.” Aku kini berusaha menarik tangan Min-ah menjauh dari laki-laki itu di tambah lampu hijau itu akan segera habis.

Assalamu'alaikum.” Ujarku pada laki-laki itu lalu pergi meninggalkannya. Jangan tanya apakah aku terpesona dengan laki-laki itu, jawabanku tidak. Tujuan awal aku ke tempat ini adalah untuk menempuh pendidikan bukan menempuh percintaan. Bagiku Jodoh yang terbaik sudah di siapkan oleh Allah, kapan itu dan siapa dia, biarlah itu menjadi kado terindah nantinya.

***

“Haidar, kau tahu. Aku menemukan bidadari cantik itu?”

“Siapa?” ujar Haidar tak mengerti.

“Bidadari, dengan cadar berwarna merah muda dengan pakaian syar'inya.”

“Bagaimana kau tahu kalau dia cantik Hisyam.” Haidar kini meletakkan  buku yang dia baca sejak sebelum Hisyam masuk kekamar itu.

“Dari sorot matanya, dari cara berbicaranya. Dia benar-benar cantik aku yakin itu.”

“Apakah itu cukup?” Hisyam menganggukkan kepala. “Aku rasa cukup, wanita cantik tidak hanya dari parasnya saja. Tingkah lakunya, dan juga perkataannya. Haidar aku yakin dialah jodoh yang diturunkan Allah untukku.”

“Aku harap kali ini tidak hanya sekedar singgah lagi di hati mu Hisyam.”

“Aku berjanji kali ini tidak akan terulang lagi, aku yakin dia jodohku.” Ujar Hisyam penuh keyakinan.

“Kau sudah tahu namanya?” Hisyam mengangguk dengan sangat yakin.

“Fatma, nama yang cantik sesuai dengan kepribadiannya.”

“Kau sudah berkenalan?” Hisyam kembali menggeleng. “Belum Haidar, tapi segera aku akan berkenalan dengannya.”

“Cepatlah! Perempuan cantik banyak kumbang yang menunggu, jika kau lengah sedetik saja, hilang harapan kau Hisyam.” Hisyam mengangguk paham dengan apa yang di katakan Haidar.

“Besok aku akan berkenalan dengannya.”

Hilal To Halal (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang