Awal Perjuangan

101 18 25
                                    


"Kamu kenapa?" Ujar Viona yang sejak tadi sudah memperhatikan Hisyam terduduk di salah satu meja kedai tempatnya bekerja.

"Entahlah." Hisyam enggan menjawab lebih panjang lagi.

"Kita sudah berteman lebih dari tiga tahu Hisyam, dan kau masih mau menutupi diri kalau kau sedang tidak ada apa-apa." Kali ini Viona ikut duduk di sebelah Hisyam.

"Aku melakukan kesalaan Viona, tidak seharusnya aku membuat seseorang yang aku sayangi kecewa. Aku terlalu ceroboh, aku terlalu egois hingga tidak memikirkan perasaannya terlebih dahulu."

"Siapa yang kau maksud Hisyam?" Viona kini memperhatikan raut wajah Hisyam. Ada rasa iba pada dirinya, ada rasa ingin menghiburnya ada rasa yang tidak bisa dijelaskan dengan kata.

"Kau ingat perempuan yang bercadar itu Viona." Viona mengangguk mengiyakan.

"Hari ini aku membuatnya kecewa Viona, aku membuat perempuan itu seakan membenciku. Aku tidak tahu lagi mengapa aku jadi seperti ini, aku benar-benar tidak ingin dia berpaling dariku Viona, aku bodoh, aku terlalu kekanak-kanakan." Kesedihan itu seakan meluap begitu saja, Viona yang berada di sebelah Hisyam seakan merasakan kesedihan itu. Perlahan Viona menyentuh pundak Hisyam.

"Aku bodoh Viona!" Ujar Hisyam sekali lagi, sementara Viona yang sudah tak tega melihat keadaan Hisyam ia memeluk Hisyam.

"Kau tidak bodoh Hisyam, dia yang bodoh tela menyia-nyiakan mu, dia yang bodoh membuatmu menjadi seperti ini. Tenanglah! Aku ada di sini, aku tak akan pergi." Hisyam kini berada didalam pelukan Viona, ia luapkan tangisnya.

"Terima Kasih Viona." Ujar Hisyam. Andaikan saja Hisyam tahu jika Viona menaruh perasaan padanya, mungkin ia tak akan mau di peluk seperti itu. Namun Hisyam yang tak begitu peka terhadap Viona, menganggapnya itu adalah hal biasa yang di lakukan seseorang kepada sahabatnya. Nyatanya Hisyam salah, ketidak pekaannya inilah yang akan menjadi petaka pada dirinya sendiri, tidak bukan hanya dirinya tapi juga orang-orang yang ada di sekitarnya.

***

Di dalam ruangan yang sedikit lenggang dari keributan, Fatma dan Min-Ah duduk mencoba menenangkan diri mereka masing-masing. Fatma yang sejak tadi berkali-kali menghapus air matanya, kini hanya menunduk menatap meja yang ia tempati.

"Kau tak apa-apa Fatma?" Fatma menggelengkan kepalanya.

"Aku tak apa-apa Min-Ah. Aku hanya sedikit terkejut."

"Aku sungguh tidak menyangka Hisyam akan seceroboh ini, apa yang ada di pikirannya sebenarnya." Min-Ah masih saja merasakan kekesalan itu, bahkan jika saja Min-Ah sekarang kembali berhadapan dengan Hisyam, mungkin saja wajah Hisyam sudah penuh dengan bekas tamparan dari Min-Ah.

"Kau ingat ceritaku kemarin Min-Ah? Aku tak ingin kembali mempunyai kedekatan dengan laki-laki karena aku tak ingin hal seperti ini yang terjadi, jujur saja aku bukan merasa aku adalah perempuan tercantik atau perempuan terhebat yang patut di puja-puja dan dijadikan bahan rebutan bagi mereka. Aku tak ingin adanya perseteruan Min-Ah." Min-Ah mengangguk membenarkan apa yang di katakan Fatma.

"Maafkan aku melibatkan mu dalam masalah ini Min-Ah." Fatma kembali menunduk, seakan malu kepada Min-Ah.

"Hei Fatma, kau sudah ku anggap sebagai saudaraku sendiri, jadi apapun yang terjadi padamu, aku akan ikut membela mu, aku akan menamparnya berkali-kali agar dia jerah."

"Terimkasih Min-Ah aku berhutang banyak padamu." Ujar Fatma yang masih pada posisinya tadi.

"Apapun itu Fatma, aku akan selalu membelamu. Ya sudah sekarang ayo kita masuk kekelas, sebentar lagi kita ada kuliah." Fatma beranjak beridi dan pergi dari tempat itu.

Hilal To Halal (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang