Perkenalan

445 39 5
                                    

Jika dalam Al-Qur'an Surah Fatir ayat lima menyatakan bahwa jangan sekali-kali membiarkan kehidupan dunia memperdayakan  kamu. Maka siang ini, tepat saat aku hendak menghadap-Mu kepada Ya Rabb, aku terperdaya oleh manusia. Perempuan dengan cadar bernuansa merah muda itu membuatku hilang arah. Aku berdosa telah melihatnya, hingga tanpa sengaja aku menabrak perempuan itu. Wanginya, suaranya masih terngiang dalam ingatan. Nampaknya dia dari negara lain, entah aku tak berani memperkenalkan diriku padanya.

Assalamu'alaikum.” Ujarnya padaku sebelum akhirnya ia pergi meninggalkanku, sejujurnya mata ini enggan berpaling darinya, meski hanya menatap punggungnya. Aku ingin mengenalnya.

“Park Jungje!” Entah sudah berapa lama seseorang di depanku itu memanggil namaku.

“Astaga, haruskah aku memanggilmu dengan microphone yang di gunakan orang-orang berkampanye itu.” Aku tersenyum menatapnya, tak ada rasa bersalahku padanya, bagiku dia sudah ku anggap sebagai saudara.

Mianhae!” ujarku lalu mendekat padanya.

“Aku sering mendengar permintaan maaf mu Jungje, tapi hal yang sama selalu terjadi.”
Chung-Hee menggelengkan kepalanya berkali-kali.

“Tak akan ku ulangi aku janji!” Entah sudah janji yang keberapa kali yang aku katakan padanya.

“Ya sudah, ayo kita pergi sekarang, nampaknya kau semakin lama diluar kau akan semakin banyak melamun.” Chung-Hee berjalan mendahului ku. Aku mengikuti langkahnya perlahan, kembali ku alihkan pandanganku pada perempuan itu. Dia masih di sana, diluar kedai makanan itu, sendiri.

“Jungje...” Teriak Chung-Hee kali lebih keras.

“Sebenarnya apa yang kau perhatikan? Apa yang membuatmu menjadi seperti ini?” Chung-Hee mencoba mengedarkan pandangannya, dan aku bersyukur sebuah Bus berhenti tepat di depan kita, hingga ia tak dapat melihat apa yang sebenarnya aku perhatikan.

***

“Jangan lama-lama Min-ah!” Perintahku pada Min-Ah. Kalian tahu mengapa aku tak pernah mau masuk kedalam kedai ini. Kedai inilah saksi bisu atas olokan yang aku terima dari beberapa orang pengunjung. Mereka mengatakan aku menutupi diri seakan aku lebih cantik dari pada model-model yang bertebaran di luar sana. Aku tak marah, hanya aku kesal. Wanita tak berhak di perlakukan demikian. Aku pun menahan diriku agar aku tak marah. Alhasil saat ini aku tak pernah merasakan sakit hati lagi saat mereka menghina penampilanku. Terutama saat aku berjalan bersama Min-ah, mereka membandingkan ku dengan Min-ah. Aku mengakui jika Min-ah itu sangat cantik, rambutnya yang pirang menjuntai lembut di pundaknya, kulitnya yang putih dan tinggi badannya yang sempurna. Apa aku iri? Tidak kita mempunyai gaya kita masing-masing, dan aku, seperti inilah gaya ku.

Aku mulai gusar, Min-ah sudah begitu lama berada di dalam. Sesekali aku mengedarkan pandangku ke arah kedai, namun Min-ah nampak masik asik berbincang dengan seseorang.

“Fatma!” seseorang menegurku.

“Iya...” Jawabku mencoba mengingat-ingat siapakah laki-laki di depanku ini, ia tinggi, senyumnya begitu manis.

“Kau Fatma?” Tanya laki-laki di depanku itu. Aku mengangguk mengiyakannya. “Perkenalkan aku Hisyam.” Ia menjulurkan tangannya padaku. Aku mundur selangkah, tak ku terima uluran tangannya itu.

“Bukan Muhrim.” Ujarku padanya, ia tersenyum dan bergegas menurunkan tangannya dan memasukkannya kedalam jaket tebal yang ia kenakan.

“Fatma orang Indonesia kan?” Tanya Hisyam dan aku hanya mengangguk mengiyakannya.

“Bagaimana kau bisa kenal denganku Hisyam?”

“Siapa yang tak mengenalmu Fatma, seorang perempuan yang menginspirasi seluruh mahasiswa Indonesia di negeri Gingseng ini. Aku rasa aku tak ada alasan untuk tak mengenalmu.” Aku tersenyum tersipu dengan perkataan laki-laki dihadapanku ini.

Hilal To Halal (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang