Gumawo Jungje

167 25 27
                                    

“Jika aku jadi kau Fatma, aku tidak akan sia-siakan kesempatan ini, aku pasti pilih salah satu dari mereka.” Min-Ah yang sejak tadi terus membahas antara Jungje dan Hisyam, tak henti-hentinya memintaku untuk memilih salah satu dari mereka.

“Min-Ah Aku sudah katakan padamu....”

“Bahwa aku kuliah di sini untuk mencari ilmu bukan mencari pacar.” Min-Ah seakan paham apa yang akan aku katakan. Aku tersenyum menatapnya.

“Tapi untuk masalah pacar anggap saja itu bonus Fatma, anggap saja itu sebagai penyemangat kamu di sini.” Dengan lantang Min-Ah mengatakan itu, hingga beberapa orang di dalam Bus memperhatikan Min-Ah. Dan jika kalian tahu, Min-Ah malah tidak perduli dengan itu semua, baginya orang-orang di dalam Bus ini tidak ada, sehingga jika ia melakukan hal memalukan pun tak masalah baginya. Kadang aku berpikir, ibunya ngidam apa ya dulu kok bisa punya anak seperti Min-Ah.

“Ok jika itu menurutmu adalah suatu hal yang sangat bagus, bisa menunjang pendidikanmu. Mengapa selama ini aku selalu mendengar kelu kesahmu masalah percintaanmu, dan coba ingat berapa kali kamu tidak pergi kuliah hanya karena menangisi laki-laki yang menyakitimu selama seharian.” Min-Ah terdiam, nyatanya memang benar, setiap kali Min-Ah terluka oleh laki-laki, maka ia tidak akan pernah keluar rumah, ia akan lebih banyak menangis bahkan tak mau makan.

“Tapi Fatma.”

“Cukup Min-Ah, jika memang kamu mau, pacari saja mereka berdua!”

“Serius?” Aku mengangguk padanya.

“Hemm, ngga deh, aku ngga mau jadi penghianat sahabatku sendiri, tapi kalau kepepet ngga papa sih aku pacarin mereka hahaha.”

“Dasar.”

“Kau tahu Min-Ah, sebelumnya aku pernah memiliki seseorang dalam hidupku.” Min-Ah yang mulai tertarik dengan apa yang akan aku ceritakan akhirnya mengubah posisi duduknya.

“Dua tahun yang lalu, aku bahkan hampir saja menikah dengannya.” Aku berhenti sejenak lalu menarik napas dalam-dalam.

“Kalian putus? Apakah dia tampan?”

“Dia meninggal Min-Ah.” Aku menunduk tak berani melihat ke arah Min-Ah.

“Astaga, maafkan aku Fatma.” Aku menggeleng, ini bukan salahnya. Aku yang memulai menceritakan semua tentang dia.

“Jujur aku tak pernah menduga jika hari itu tiba Min-Ah, orang yang aku harapkan bisa menjadi Imam di dalam kehidupanku ternyata pergi mendahului ku. Jika kau tahu pertemuan kita dari sebuah perjodohan, aku melakukan ta'aruf itu selama hampir setengah tahun, hingga kedua orang tua kami menentukan hari kebahagia itu. Tapi tak sampai hari itu terjadi, aku mendengar berita pahit itu, dia meninggal saat hendak menemuiku Min-Ah. Duniaku hancur saat itu, apa yang aku impikan semuanya sinar, mencoba pura-pura tersenyum saat itu pun begitu susah Min-Ah.” Aku hapus air mataku yang terjatuh membasahi Niqob yang aku kenakan. Min-Ah berangsur mendekat kepadaku, lalu memelukku dengan erat.

“Dia pasti bahagia di sana.” Aku tersenyum kepadanya.

“Jadi kau paham sekarang, mengapa aku tidak ingin menjalin hubungan terlebih dahulu? Aku masih trauma, trauma jika hal yang menyakitkan itu terjadi lagi. Dan seandainya jika mereka benar-benar serius mencintaiku, aku akan menunggu hingga mereka berani kerumah menemui abah, memintaku secara langsung.” Bus sudah sampai di halte tempat aku dan Min-Ah harus turun. Kita berdua pun menjeda percakapan kita, dan bergegas turun.

Udara dingin Seoul benar-benar sudah mulai bersahabat dengan ku, aku mulai terbiasa dengan suasana di negeri Gingseng ini, orang-orangnya dan semua kegiatan di negeri ini, termasuk jika itu menyangkut tindak kriminal. Seperti malam ini, saat aku dan Min-Ah turun dari dalam Bus, ternyata ada seorang laki-laki yang mengikuti kita berdua.

Hilal To Halal (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang