Sebelumnya kehidupanku baik-baik saja, tapi setelah aku melihat sendiri apa yang terjadi. Aku semakin yakin dengan apa yang harus aku lakukan. Saat itu, saat Jungje dan Hisyam berdua di sana, saat mereka sedang beradu argumen untuk saling mencocokan diri denganku, disaat itu aku tersadar aku tak ingin menyakiti mereka berdua. Siapapun itu. Aku sangat yakin akan ada banyak orang yang terluka, bukan hanya Hisyam, Jungje atau siapapun itu.Aku tahu sangat tahu, jika Allah sudah memberikan keyakinan bahwa setiap manusia itu telah di berikan jodohnya, dan di sesuaikan dengan dirinya sendiri, sebagaimana yang ada di Qs. An-Nur ayat 26 sedangkan perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik pula. Sejujurnya aku pasrah, siapapun itu aku akan menerimanya. Tetapi jika saling membenci ini yang terjadi, maka aku lebih baik menghentikannya.
Suara getar Handphone milik ku berbunyi malam itu, aku tahu itu siapa, tiada lagi selain Min-Ah. Aku mengangkat panggilan video itu.
“Iya Min-Ah.” Ujarku. Aku menghargai agama mereka, sebab itu aku tak mengucapkan salam kepadanya. Meski awalnya sangat berat bagiku, kini aku memulai membiaskan diri. Tapi satu hal yang aku suka dari Min-Ah, dia selalu suka mendengarkan aku mengaji.
“FATMA!” Teriak Min-Ah di seberang sana.
“Chung-Hee sweet banget tau, ya ampunnn. Beneran nggak nyesel aku deket sama dia, dia aja beliin aku ini, liat deh liat bagus kan.” Min-Ah menunjukkan ku sebuah tas dengan merk yang cukup mahal.
“Cantik kan Fatma.” Aku mengangguk menanggapi ceritanya.
“Belum lagi ni ya Fat, dia tu di tempat makan tahu semua makanan Favorit aku dan dia pesenin semua makanan itu. Satu lagi Fatma, waktu makanan berlepotan di mulutku dia langsung ambil tisu dan dibersihin dong, ampun bener-bener yang kayak gini nggak mau aku lepas.” Seperti inilah Min-Ah dia tidak akan pernah berhentik bercerita saat ia menemukan sebuah kebahagiaan dalam hidupnya.
“Udah ceritanya?” ledekku agar Min-Ah sedikit kesal namun nyatanya bukan kekesalannya yang terjadi, Min-Ah justru menanyakan suatu hal padaku.
“Tadi ketemu Jungje ngga?” Tanya Min-Ah padaku, aku pun mengangguk mengiyakan.
“Ada Hisyam juga.” Tambahku.
“APA? Hisyam juga ada di sana ya?” Aku mengangguk lagi menjawab pertanyaan Min-Ah.
“Lalu apa yang terjadi?”
“Tidak ada Min-Ah, beneran ngga ada apa-apa” Jawabku meyakinkannya.
“Baiklah berarti aman ya, tapi beneran mereka ngga berantem atau apa gitu yang sejenis dengan perkelahian.” Aku sekali lagi menggelengkan kepalaku.
“Tidak ada Min-Ah.”
“Ah kurang seru, coba deh ada yang berantem kan semakin seru ni cerita, apalagi ada yang sampai ngerebutin kamu Fatma a keren banget pasti.” Geleng-geleng kepala Fatma saat mendengar apa yang di katakan Min-Ah.
“Min-Ah aku ini manusia bukan barang yang bisa di perebutkan oleh manusia juga. Andaikan itu bisa terjadi, aku memilih tidak mau. Emang kamu mau di perebutkan layaknya barang seperti itu?”
“Tentu saja aku mau, apalagi cowoknya ganteng-ganteng. Tapi kayaknya enggak dulu deh, aku kan udah ada Chung-Hee.” Aku memang harus bersabar diri menghadapi Min-Ah, sahabatku yang satu ini memang sedikit berbeda.
“Min-Ah, kalau aku menjauhi mereka berdua bagaimana?” tanyaku padanya.
“Jika itu yang terbaik menurut kamu, ya lakukan. Tapi satu hal lagi jangan sampai menyesal dengan keputusan yang sudah kamu ambil. Bisa saja suatu saat kamu akan sangat merindukan salah satu dari mereka.” Aku mengela napasku panjang, aku tahu bisa saja aku merindukan salah satu dari mereka suatu saat nanti, tapi aku takut mendua Allah dalam hal ini.
“Dan jika memang kamu ingin menjauh, mereka pasti bertanya-tanya mengapa kamu menjauh.” Benar apa kata Min-Ah, namun semua itu sudah aku pikirkan sejak tadi.
“Min-Ah aku takut mereka berdua terluka, jujur saja, tadi saat kau meninggalkan ku sendiri, Hisyam datang dan duduk bersamaku, tak lama setelah itu Jungje juga datang. Aku melihat betul ketidak nyamanan Hisyam dengan keberadaan Jungje di sana. Lalu akhirnya aku memutuskan, tidak aku tidak benar-benar pergi. Aku menunggu di balik penghalang kantin. Saat itu aku ingin memastikan bahwa mereka berdua baik-baik saja. Tapi nyatanya aku salah Min-Ah, mereka bersitegang. Dan kau benar aku diperebutkan layaknya sebuah benda.” Aku mencoba menjelaskan semuanya ke Min-Ah.
“Jadi apa yang aku katakan tadi semuanya benar-benar terjadi?” aku mengangguk mengiyakan. “Ini sih keren banget, kan aku pengen jadi kayak kamu Fatma, di perebutkan sama dua cowok keren, dua cowok ganteng. Duh gemes banget deh.”
“Min-Ah...” aku menegurnya agar ia berhenti berkata tidak-tidak.
“Maaf-maaf aku cuma bercanda Fatma. Hemm oke kalau seperti ini, kau jangan menjauh. Jika kau menjauh mereka berdua bisa saja saling melukai. Bukankah kau sendiri yang meminta mereka untuk bertanya kepada Tuhanmu, bukankah kau sendiri yang meminta Hisyam agar lebih memperkuat agama agar bisa dekat denganmu.” Aku mengangguk mengiyakan perkataan Min-Ah, semua ini memang salahku, jika saja aku tak berkata demikian dengan mereka. Mungkin hal ini tidak akan pernah terjadi.
“Mereka bersaing dengan cara yang baik Fatma, mereka berdua mencoba mencari jawaban dari Tuhanmu, bukan kekerasan atau apapun. Mereka hanya butuh cara agar bisa membuktikan bahwa kaulah yang mereka cari selama ini.”
“Kamu benar Min-Ah. Mungkin aku juga harus meminta pada Allah, meminta petunjuknya.” Min-Ah mengangguk tersenyum kepadaku.
“Jadi jangan menjauh, kan sayang banget kalau dua cowok ganteng kau buang gitu aja.” Aku tertawa mendengar perkataan Min-Ah. Bukankah baru saja dia berkata bijak. Mengapa sekarang kembali lagi seperti ini. Kita akhirnya melanjutkan percakapan kita berdua, hingga sejam berlalu, aku memutuskan menyudahi percakapan kami berdua. Namun saat aku hendak meletakkan handphone ku ada sebuah pesan masuk muncul.
Jungje : Selamat beristirahat Fatma.
Aku tersenyum melihat pesan itu, tak aku balas, aku memutuskan untuk langsung tidur tanpa menyadari bahwa ada pesan kedua yang masuk.
Hisyam : Selamat malam bidadari cantik.
***
“Viona!” Hisyam mencoba memanggil Viona sekali lagi, namun tak ada jawaban sama sekali.
“Astaga Viona, harus berapa kali aku memanggilmu?” Hisyam menemukan Viona di dapur sedang memotong beberapa sayur.
“Kau tak mau menjawab panggilanku?” Viona tetap diam.
“Apakah aku ada salah?” sekali lagi Hisyam bertanya pada Viona.
“Jawablah Viona!” kali ini Viona menghentikan tangannya memotong sayur. Ia menghadap kearah Hisyam.
“Kau bertanya padaku apakah kau punya salah? Kenapa tak kau pikirkan sendiri Hisyam.” Hisyam kali ini terdiam, ia tak menyangka jika Viona akan semarah ini.
“Oh iya aku lupa kau adalah makhluk yang sangat tidak peka, biar aku jelaskan saja. Kesalahanmu adalah mengejar-ngejar perempuan yang bahkan tidak mencintaimu Hisyam. Kau seakan amat tergila-gila hingga kau lupa diri. Kau juga bahkan tidak menceritakan hal ini kepadaku. Apa gunanya lima tahun kita kenal, apa gunanya kedekatan kita selama ini.”
“Ya ampun jadi kau marah gara-gara aku tidak menceritakan tentang Fatma, aku bukan tak mau Viona, aku menunggu waktu.”
“Tidak Hisyam bukan itu.”
“Lalu?”
“Aku mencintaimu Hisyam.”
###
Jujur aku nulis bab ini tu tadi malam ngantuk banget. Akhirnya aku putuskan untuk lanjutkan ngetik pagi.
Sumpah menurut aku ini nggk ada feelnya sama sekali...
Maaf ya kalau ngga perfect untuk bab yang ini.
Kalau ada yang salah atau kurang menarik jangan lupa coment ya biar aku bisa perbaiki dan lebih bagus lagi tulisanku. Terima kasih semuanya... Sampai jumpa di bab 10 nanti malam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hilal To Halal (TERBIT)
Teen FictionNamaku Fatma, saat ini aku harus menghadapi dua pilihan dalam kehidupanku. Lamaran mereka bertiga atau pendidikan yang aku tempuh. Tiga laki-laki itu tiba-tiba saja datang, menyatakan cinta dan melamar secara bersamaan. Bagaimana aku memilih mereka...