08 : Phone number

48 11 59
                                        

Hyun Jae POV

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hyun Jae POV

Simpati?
Aku benar-benar membenci kata simpati.

Sekarang aku merutuki diriku sendiri karena telah bersimpati pada laki-laki bodoh itu. Entah siapapun namanya, aku benar-benar tidak peduli.

Kini aku menatap sosok itu yang tengah duduk di sofa apartemenku, bisa-bisanya aku membawanya ke apartemenku. Tengah malam seperti ini aku membawa seorang pria, bahkan saat ini kami hanya berdua saja di dalam satu ruangan.

Apa aku sudah kehilangan akal?

Ini semua adalah ulah simpati sialan itu, aku benci rasa peduli dalam diriku ini. Seharusnya aku pergi meninggalkannya, harusnya aku segera menepis tangannya saat mencoba untuk memelukku. Namun, lihatlah apa yang aku lakukan, aku malah menolongnya.

Sekarang, dua sisi dalam diriku seperti sedang berperang untuk menemukan suatu keputusan. Di satu sisi aku ingin sekali mengusirnya, karena dia lah orang yang telah bersikap kasar bahkan melukaiku. Namun, di sisi lain ada rasa simpati ketika melihat ia yang terlihat lemah tak berdaya. Jika sebelum-sebelumnya aku melihatnya dengan sorot mata tajam, maka hari ini sorot matanya itu hanya menyiratkan kepedihan.

Aku tak tahu apa masalahnya, namun rasanya aku bisa merasakan sakit ketika melihat sorot matanya yang tadi sempat menatapku. Aku pun bisa merasakan kehancuran dari nada suaranya. Dia terpuruk entah karena apa, yang jelas saat ini laki-laki itu benar-benar butuh pertolongan.

Sekarang kami sedang duduk berhadapan, namun ia masih saja menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Aku terus memperhatikan gerak-geriknya, ada rasa aneh dari dalam diriku ketika melihatnya mengenakan pakaian itu. Pakaian yang aku pinjamkan, sebenarnya aku terpaksa meminjamkan pakaian itu karena hanya itulah satu-satunya pakaian pria yang aku punya.

Sosok dari masa lalu kembali melintas di otakku kala aku menatap laki-laki di hadapanku saat ini. Aku benci ini, aku benci mengingat bahwa nyatanya aku masih terjebak dalam masa lalu. Harusnya aku tidak meminjamkannya baju itu jika ujungnya aku sendiri yang menjadi uring-uringan. Aku memang bodoh.

Drtttt... Drttttt....

Suara getaran memecahkan keheningan, kini kulihat laki-laki itu dengan cepat mengecek ponselnya yang sedang bergetar. Sepertinya seseorang menelponnya.

Setelah menatap ponselnya, ia mengusap wajahnya secara kasar. Bahkan aku mendengar helaan napas yang terdengar sangat dipaksakan. Pikiranku mulai menebak-nebak segala kemungkinan. Ia pun langsung mengangkat telpon itu tanpa menjauh dariku terlebih dahulu.

"Appa....." lirihnya.

Ah ternyata ayahnya, haruskah aku menjauh?, batinku.

Aku pun dengan segera berdiri meninggalkannya, aku merasa harus memberinya ruang agar bisa berbicara dengan ayahnya tanpa merasa terganggu oleh kehadiranku. Namun, tentu saja aku tetap penasaran. Aku memang menjauh, tapi aku memilih untuk menguping.

UNTOLDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang