Prologue

2.5K 105 12
                                    

PROLOGUE

JEROME’S P.O.V

I’m gonna miss university days and I’m gonna miss my home country. Saya akan rindu KK and I’m sure I’m gonna miss the night life in KL. My good 4 years is coming to an end.

In another week.

Jerome Ashburn, Bsc. (Hon) Architecture.

Saya menatap surat tawaran dalam tangan saya. I’m offered a postgraduate internship in an architectural firm in Sydney. More specific, apprenticeship in architecture. What’s great about my degree is that I can do internship after my graduation. So, it opens up the opportunity to do my internship overseas.

It excites me, but then again, saya perlu bagi alasan yang kukuh kepada ibubapa saya kenapa saya perlu terima tawaran di Sydney, instead of dad’s own firm yang juga di bandaraya yang sama. And... uh, I need to explain the most to dad.

Independence perhaps? Saya mau mandiri, berdiri atas kaki sendiri namun saya sentiasa diingatkan dan sesekali diberikan amaran bahawa saya adalah anak lelaki sulung dan contoh kepada adik-adik saya.

Jeremy and Jeremiah, like me, also followed dad’s footsteps. Jeremy is into his 2nd year double degree in architectural design and civil engineering di Monash. Jeremiah baru tamat foundation in engineering di Curtin and will continue to take degree in civil engineering. Berjurut saja kami selang 2 tahun from each others’ age. Saya coming to 23, Jeremy 21 and Jeremiah 19.

Perfect sudah cita-cita dan impian dad. Ketiga-tiga anak-anak lelaki dia adalah peneraju empire yang telah dad bina sejak sekian lama.

“J.” My bestfriend Braxton, kami satu sekolah sejak sekolah rendah sampailah university. “Kita lagi next.”

Ah, yes. I’m a drummer in our music band. Cepat-cepat saya kasi masuk tu surat tawaran dalam my backpack.

Sambil berjalan at the backtage menuju the stage, Perry bersuara.
“So? Kau jadi ambil the offer?”
“Kau rasa?” Saya tanya balik.

Braxton menatap wajah saya sambil menyipitkan mata.

“Saya rasa kau ni kepala batu.” Ciss! “So memang anak durhaka macam kau-”

Tidak sempat dia mau menghabiskan kata-kata dia, berguling kami di lantai. Saya kasi ampit kepala dia di bawah ketiak saya. Baru kau tau! Hahahaha!

HAHAHAHA! Kami berketawa.

“Hey!” Suara kegeraman seorang gadis kedengaran. “Mau start sudah pun masih kamurang main-main lagi?”

Serious terus muka Braxton.
“Tidak bah, lovey.” Braxton berdiri dan memeluk girlfriend dia.

I smiled up at them, then looked away.

SAPPHIRE.

Kalau saya berani mengaku yang saya pernah jatuh cinta pada pandangan pertama terhadap seorang gadis, gadis itu adalah Sapphire.

Tapi saya terlambat, atau saya cuma tidak pandai bercinta. Braxton is the sweet talker dan tidak mustahil mana-mana gadis uni akan jatuh cinta dengan dia dan gombalan dia yang kadang bikin saya mau muntah.

Saya ni jenis yang jarang senyum, dan saya cuma bertegur-sapa dan bercakap sama orang-orang yang saya kenal saja. Bukan sombong, tapi tidak biasa.

Saya ingat pertama kali saya nampak Sapphire di campus. She enrolled the same course as Braxton and I, only 2 semesters late. She did her foundation in another uni then continued her degree at Taylor’s. And I saw her during the night of the alumni.

-Flashback-

“What’s next?” Saya tanya Braxton as I ready myself to hit my drum on stage.

Once Upon A Heartbreak Where stories live. Discover now