6. A decision

5.6K 384 47
                                    

(18+)

Abyan's POV.

Aku hempaskan tubuhku diranjang kingsizeku. Kupejamkan mataku, setelah aku menerima telpon dari kekasihku Keiza. Suaranya berbeda, suaranya tak seceria biasanya. Tanganku masih menggenggam smartphone dengan erat. Aku ingat, hari ini tepat satu bulan hubunganku bersama Keiza. Hubungan yang berawal dari sebuah permainan konyol. Tapi aku tak pernah menganggap semua ini adalah sebuah permainan. Hubungan kami tidak begitu rumit, namun diantara aku dan Keiza ada sebuah tembok penghalang yang besar dan kokoh. Dan sampai detik ini aku tidak bisa menjamin apakah tembok besar itu bisa aku robohkan atau tidak. Aku hanya bisa berharap, semoga suatu saat tembok besar itu bisa roboh dengan sendirinya.

Dengan segera aku beranjak dari ranjang kingsizeku, aku bergegas kekamar mandi untuk mandi. Aku harus menemui kekasih mungilku itu sekarang, aku harus memastikan apakah dia baik-baik saja atau tidak. Dengan kemeja kotak-kotak berwarna hitam perpaduan putih, celana jeans hitam dan jaket jeans abu-abu serta sepatu sneakers hitam kesayanganku, aku langsung bergegas turun. Aku lirik jam tanganku yang menunjukkan pukul setengah empat sore. Suasana rumahku sepi.

Kulihat Abi dan Umi yang berada didapur. Aku berjalan mengendap - endap kearah dapur. Aku melihat Abi sedang memeluk Umi dari belakang, sepertinya Umi sedang memasak untuk makan malam. Tak ada mbak Ani, karena setiap weekend mbak Ani memang libur. Mungkin ini maksudnya, mengapa Abi dan Umi sengaja meminta mbak Ani libur setiap weekend. Aku duduk dimini bar dengan menopang daguku menggunakan tangan kananku. Menonton sebuah tontonan gratis yang sangat romantis. Walaupun usia mereka tidak muda lagi, tapi keromantisan mereka selalu membuat siapapun iri, tak terkecuali aku yang notabene anak mereka. Aku tersenyum melihatnya. Dengan pelan, Abi mencium leher Umi. Pelan tapi pasti, Umi sedikit mengerang. Aku rasa Umi bergidik geli karena ulah Abi. Tiba-tiba Umi membalikkan tubuhnya dan mengalungkan tangannya dileher Abi. Abi merengkuh pinggang Umi dengan erat, membuat mereka tak ada jarak sedikitku. Sepersekian detik kemudian bibir mereka saling bertaut. Oh damn! Darahku mulai berdesir seketika. Kusapu bibirku dengan lidahku. Umi mengelus tengkuk Abi dengan lembut, salah satu tangannya mengacak acak rambut Abi. Semakin lama ciuman itu semakin intens. It's enough, the show must be stopped. Aku berdehem.

"Eheeeem..." Seruku yang otomatis menganggu aktivitas Abi dan Umi.

Umi langsung mendorong Abi. Kemudian menatapku kaget. Wajah Umi sedikit memerah. Aku tersenyum melihat Umi yang sedang malu sepertinya.

"Abyan." Ucap Umi kaget saat melihatku.

Abi melotot tajam kearahku. Aku terkekeh. Sedangkan Umi masih menatapku kemudian dia menghela nafasnya.

"Abi sih..." Kata Umi sambil mencubit perut Abi.

"Awww... sakit dong sayang!" Pekik Abi.

Umi berbalik dan kembali melanjutkan untuk memasak. Abi melipat tangannya kedepan dadanya sambil bersandar di lemari es besar yang berada dibelakangnya. Abi menatapku dengan tatapan elangnya yang mengintimidasiku.

"Sejak kapan kamu disitu??" Tanya Abi yang mulai menginterogasiku. Aku meringis memperlihatkan barisan gigiku yang putih.

"Sejak Abi maen dilehernya Umi. Hahaha." Ledekku pada Abi. Abi menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Terus ngapain baru berisik tadi?" Tanya Abi lagi. Aku menahan tawaku.

"Kayaknya mau kebablasan tadi Bi, makanya Abyan stop. Maaf deh." Ucapku pada Abi sambil menggaruk garuk tengkukku yang tak gatal.

"Kamu mau ketemu Keiza kan? Gih sana pergi." Kata Umi mengusirku. Tawaku pecah seketika. Aku berjalan kearah Abi dan Umi.

"Maaf Umi Abi. Lain kali Abyan nggak ganggu lagi deh, asal maennya dikamar." Ledekku lagi. Wajah Umi memerah seperti buah tomat. Abi merangkul Umi dari samping, kemudian memeluknya.

YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang