13. You

4.1K 373 122
                                    

Abyan's POV.

Ku pejamkan mataku. Aku biarkan air mataku menetes perlahan. Sesak. Ingin rasanya aku berteriak sekencang yang aku bisa. Ampuni aku ya Allah. Jangan jadikan diriku ini anak yang durhaka. Jangan biarkan diriku ini menjadi tokoh antagonis di skenario yang Engkau buat. Cukup Mika yang hari ini telah ku buat menangis, aku tak ingin Umi pun ikut menangis karena ulahku.

Kuseka air mataku. Aku kembali membenarkan posisi setengah dudukku. Aku hela nafasku perlahan. Ku hirup udara yang masih bebas sedalam - dalamnya. Pintu kamarku terbuka kembali. Ya Allah. Siapa lagi ini. Self control Abyan! Kulihat adikku Mika berjalan kearahku. Tatapannya sendu, hatiku serasa teriris melihatnya. Rasanya hatiku sudah terluka parah saat ini. Berharap luka dihatiku tidak semakin melebar dan membesar.

"Abang, Mika minta maaf." Ucap Mika padaku. Dia berdiri tertunduk disebelahku. Ku tarik tangannya agar duduk disampingku.

"Abang yang minta maaf. Udah bentak - bentak Mika tadi. Maafin bang Byan ya!" Ucapku padanya. Mika menatapku. Dua sisi bibirnya tersungging.

"Nggak ko. Mika ngerti kenapa abang marah tadi. Mika yang salah. Abang nggak perlu minta maaf." Ucapnya kembali. Aku tersenyum. Ku acak - acak rambutnya. Dia mengerucutkan bibirnya seperti biasanya. Aku terkekeh.

"Baikan?" Kataku sambil mengacungkan jari kelingkingku. Kebiasaan kami sedari kecil saat meminta maaf atau berjanji. Umi yang mengajari kami. Mika tersenyum melihatku.

"Baikan!" Ujar Mika semangat sambil menautkan jari kelingkingnya yang imut ke jari kelingkingku.

"Abang mau hubungi kak Keiza?? Nih Mika pinjemin." Celoteh Mika menyodorkan Iphonenya padaku. Aku tersenyum sambil menggeleng.

"Kenapa? Bukannya abang tadi mau hubungin kak Keiza ya?" Cicitnya lagi. Ini dia adekku yang rewel abis. Huft.

"Abang nggak mau kak Keiza lihat abang kaya gini. Abang nggak tega lihat dia nangis terus." Ceritaku pada Mika. Dia mengangguk tanda mengerti.

"Abang boleh minta tolong?" Tanyaku padanya. Mika mengangguk.

"Sekarang kamu cari Umi. Dan tolong, jangan biarin Umi nangis. Kalo Umi nangis, tolong bikin Umi ketawa sama tingkah konyol kamu. Kamu bisa kan dek?" Pintaku pada Mika.

"Abang habis ribut lagi ya sama Umi?" Tanyanya kembali.

"Nggak. Kita cuma ngobrol aja tadi. Abang cuma takut, Umi sakit hati sama ucapan abang. Sekarang kamu cari Umi ya!" Pintaku lagi. Mika mengangguk dan tersenyum.

"Yawdah, Mika cari Umi ya! Abang baik - baik ya disini." Kata Mika. Aku mengangguk.

Mika beranjak dari duduknya. Sebelum dia berlalu, dia kembali menoleh padaku dan tersenyum. Adik kecilku yang sudah dewasa, tapi sampai kapanpun dia akan selalu menjadi adik kecilku. Sesaat setelah Mika pergi, pintu ruangan kamarku kembali terbuka. Suara beberapa langkah besar mulai terdengar. Mereka tersenyum padaku. Hanya satu senyum yang membuat jantungku tak pernah gagal bermarathon sekaligus membuat hatiku miris kembali.

"Hai bro..." Sapa Boy dan Nial. Mereka mengulurkan tangan mereka bergantian untuk aku jabat seperti biasanya.

"Hai. Kalian ko bisa sampai sini?" Tanyaku penasaran. Mereka terkekeh. Kecuali Keiza dan Andien.

"Apa sih yang nggak kita tahu. Mau lo sembunyi dikutub utara juga gue sama Boy pasti tahu." Cicit Nial. Aku tersenyum. Mereka memang sahabat terbaikku.

"Baru lagi hah?" Ledekku pada Boy. Dia terkekeh.

"She's my miss right. And the last." Kata Boy. Aku tersenyum.

YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang