Pagi yang cerah di mulai dengan teriakan Aiken yang super ceria. Mamanya hanya bisa mendengus pelan. Merasa ada goncangan bahaya yang mungkin sudah menyebar dan memanipulasi Aiken yang masih super polos.
"Kalo lo kasih anak gue batagor, gue gusur toko lo," ancamnya sembari menyeringai.
Lisa mendengus. Menarik piring kecil dari pangkuan Aiken yang membuat anak berumur tiga tahun itu menangis keras.
"Iya-iya, Kento Aji, bentaaar yaa." Lisa menaikkan piringnya hingga ke atas, menjauhkan dari jangkauan tangan Aiken.
Rose yang mendengar panggilan Lisa untuk putranya pun melotot, "Lo panggil anak gue apaan?? Nama bagus-bagus lo ganti kampungan!"
Lisa mencebik, "Heh Bu. Sombong amat. Sekampung-kampungnya nama itu, yang penting artinya luar biasa. Jadi anak sholeh trus biar sukses besarnya. Lagian, lo udah jadi Mbok tapi omongannya masih kasar di depan anak lo. Ya nggak To?"
"Iya-iya deh. Aiken anaknya Mami Rose yang paling ganteng, ciini. Mama jompa-jampi dulu, biar ingatan Aiken tentang Mama yang ngomong kasar ilang. Biar nggak ke copy ke piki—"
"Astagfirullah! Sabar-sabar. Woyy Tian! Cepetan lo ke sini! Bini lo slempang piring gue nih! Abis 'kan tuh sarapan gue!" Lisa cepat-cepat menyerahkan Aiken kepada Rose dan menarik piring kertas yang kini menjadi alas makhluk biadab bernama Spot, kucing garong yang telah menunjukkan bendera perang dengannya di saat Lisa pertama kali bertemu kucing jantan itu.
"Minggir lo Sporot!"
"Lisa, jangan ngomong kalo baru aja nelen toak. Anak aku jadi kaget nih." Rose menimang-nimang Aiken yang menangis setelah teriakan keras Lisa berhasil mengagetkannya.
Spot tidak bergerak sama sekali. Malah menikmati saat sang pemilik piring sedang marah-marah tak karuan dan membuat keadaan semakin runyam. Lisa yang melihat hal tersebut pun tak mau kalah, menarik bulu Spot dan menyugarnya dengan tangan basah. Lisa tentu saja merasa puas luar biasa saat kucing itu menggeram ke arahnya. Yang semua orang tau, Spot sangat benci saat kondisi bulunya terasa lembab. Bahkan terkena tetesan air saja kucing itu sudah mau mencakar orang-orang rumah.
"Woy Oyen, lo pasti bolos mandi lima bulan."
"Aiken. Aikeen caaayaaang?? Sini-sini, Tante Lisa nakal ya? Iyaaa, nanti Mama usir kok. Biar sawannya nggak nempel di rumah."
"Kalo lo masih ganggu gue, awas lo! Gue gebyur pake air cucian!"
"Oh? Beneran?? Iya-iya. Tante Lisa orangnya emang kayak gituu. Kalo kamu besar, jangan kaget ya? Soalnya Tante Lisa tuh magnetnya segala macam kemaksiatan."
"Astagfirullah Rojeee!! Lo buat citra gue jelek ya di depannya Aiken!"
"Iiih apasih?? Aku 'kan cuma bicara tentang fakta! Salahnya di mana coba??"
"Dari pada Aiken dengerin percakapan no-akhlak lo berdua, mending biarin dia gue ajak main lumpur. Lebih enak dari pada dengerin bacotan lo yang nggak berguna."
"Enaa! Bahasa lo di jaga ya!! Lo gendong anak manusia! Bukan anak kambing!"
"Ya siapa yang bilang Aiken bukan anak manusia? Kecuali ibunya tuh, harus dicurigain." Ena berlari kecil menjauhi keduanya dengan Aiken yang masih menangis.
Keajaiban menimpa dirinya saat melihat Bastian yang baru saja datang dari arah kolam. Sepertinya baru saja menguras kolam.
"Nih. Bawa anak lo jauh-jauh dari bini lo. Gue sebagai Tantenya yang super duper cantik ini enggak mau liat Aiken tumbuh jadi cowok bar-bar." Ena menyerahkan anak berusia tiga tahun itu kepada Tian. Benar saja, Aiken langsung menghentikan tangisannya.
Sepertinya Ena lupa, jika Bastian dulunya juga termasuk ke dalam cowok bar-bar seperti yang dia maksudkan.
"Maaaa ... Hikss ... "
Bastian mengusap punggung Aiken yang menangis di ceruk lehernya. Beberapa kali dirinya memang mendengar teriakan dari teras rumah. Suaranya bahkan sampai ke belakang rumah, tempat di mana kolam renang berada.
Langkahnya terasa ringan, alisnya mengerut saat melihat Spot yang kini mengeong keras di ambang pintu dalam keadaan basah kuyup.
Matanya menyorot tajam. Telinganya terasa berdenging saat mendengar kebisingan yang terjadi. Antara suara Lisa yang tidak pernah di saring, suara Spot yang sudah mirip seperri backsound, ditambah suara tangisan Aiken yang seolah-olah menjadi vokalis utamanya.
"Ggrrrrr! Ngeong! Meong! Mwoo!!"
"Kucing biadab! Jangan deket-deket gue lagi lo!"
"Hikss! Hikss!"
Beginilah keseharian mereka. Suasana yang luar biasa berwarna oleh kebisingan.
=============
"Ini bukannya bagus ya?" Rose menunjukkan layar ponselnya yang menampilkan berbagai macam baju ukuran anak berusia tiga tahun.
Tian hanya mengangguk pelan. Padahal Rose sudah tau, jika seleranya sangat buruk. Tapi istrinya itu masih sangat sering memintanya untuk memilihkan baju yang akan digunakan Aiken. Jika tidak sesuai harapannya, Rose pasti akan mogok bicara selama lima menit.
"Ah masa? Bukannya bagus warna biru? Kamu yang serius ih." Rose menarik ponselnya dengan wajah cemberut.
"Ya udah. Bagus warna biru."
Rose meliriknya dengan sorot aneh, "Ih enggak. Bagus yang kuning. Kamu tuh aku tanya begini nggak suka ya? Ini 'kan juga demi Aiken."
Tian menghela nafas. Mengusap rambutnya dalam keputusasaan yang tidak kentara. Tidak mungkin jika dirinya menunjukkan wajah enggannya yang mungkin langsung membuat Rose marah dan menyuruhnya tidur di kantor semalaman. Percayalah, tidur sendirian lebih menyenangkan dari pada ditemani oleh segerombolan nyamuk jika sang istri sedang dalam mode ngambek.
"Terserah kamu. Semuanya bagus kok."
"Kok terserah sih?? Aku tuh minta pendapat kamu loh. Kamu diajak kompromi kok nggak mau! Apa aku ajak Eno aja buat diskusi??" Rose mendengus.
"Sayang."
"Iya-iya. Nih, udah diem. Aku bakal pilih yang warna merah aja deh."
"Aiken di mana?" tanya Tian saat keheningan menyapa mereka. Rose yang semula sibuk dengan ponselnya segera menoleh.
"Oh. Sama Lisa di depan teras. Aku nggak tau mereka lagi ngapain. Tapi Lisa udah dateng pagi-pagi tadi. Katanya diusir Tante karena nggak sengaja ngagetin trus buat masker wajahnya pecah."
Tian mengernyit.
"Kamu samperin aja. Sini aku yang pilih."
Rose menatapnya dengan wajah curiga.
"Oke. Tapi kamu jangan milih baju bentuk lebah kayak kemarin. Yang simpel aja. Kasihan Aiken gerah nanti."
Rose bangkit dari duduknya. Mengambil sebotol minuman sari buah dari kulkas sebelum menuju teras depan. Segala macam mainan tersebar ke penjuru lantai. Yang membuatnya melotot adalah, bukan Aiken pelakunya, melainkan Lisa yang kini tengah menyusun puzzle di tengah-tengah lantai. Sedangkan Aiken dibiarkan saja mengotak-atik suatu barang yang sepertinya sekantung pasir yang dapat dibentuk.
"Lis, Aiken lo kasih apa?" tanya Rose setelah menyerahkan sebotol minuman sari buah kepada Lisa.
Lisa melirik Aiken. Lalu tersenyum misterius saat Aiken mulai membuka kemasan mainan tersebut.
"Liat aja nanti. Ternyata anak lo pinter."
Rose mengernyit. Segera berjalan mendekati Aiken dan meraih anak itu ke dalam gendongannya. Kemasan yang sudah Aiken buang di bawah dirinya ambil. Matanya menyipit, kemudian barulah wajahnya berubah panik saat Aiken mengucapkan beberapa patah kata.
"Mamamamama ... Njing ... Njiiing!"
Ekspresi Rose berubah horor.
"Lisaaa!!"
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔] Longtemps
FanfictionHanya saja ... Rose merasa Bastian selalu tau di mana dirinya berada.