Tahun berlalu dengan cepat. Begitu pula keadaan berubah dan mereka berdua semakin bertambah dewasa. Masalah kecil tidak pernah mereka anggap sebagai hal yang sepele. Mereka berdua selalu bekerja sama untuk menyelesaikan suatu permasalahan. Tidak melihat seberapa besar masalah tersebut, yang penting hubungan penuh keharmonisan harus tetap terjaga.
"Aku bawain rendang."
Suara itu mampu membuat senyumnya merekah lebar. Kepalanya tertoleh ke belakang, menatap sang suami yang kini berdiri di ambang pintu kamar sembari menenteng sebuah kresek hitam.
Secepat kilat dirinya berdiri. Walaupun beban di perutnya kini membuatnya sedikit susah berjalan, rasa antusias tinggi membuat rasa gelisah itu hilang. Tergantikan dengan rasa senang luar biasa karena keinginannya tercapai.
"Maacih Papa Iiiaaan!!"
Tian hanya mendengus tipis saat melihat Rose yang berlari menuju dapur. Semenjak kehamilannya menginjak usia tujuh bulan, istrinya itu semakin manja saja. Fisiknya pun mulai berubah. Yang semula langsing kini menjadi sedikit berisi. Sedikit-sedikit suka merengek. Namun mau bagaimana lagi? Jika itu yang membuat Tian semakin betah untuk tinggal di rumah.
"Hati-hati."
Ia berjalan pelan mengikuti Rose. Berapa kali pun dirinya ingatkan untuk menjaga langkah yang dia ambil, terkadang Tian dibuat meringis saat Rose berlari dengan perut sebesar itu.
"Kalo aku jempalitan, mungkin kamu langsung jadi Papa," celetuk Rose.
"Lisa pengen pergi ke diskon ruko sebelah. Aku mau ikut," tambahnya kemudian.
"Nggak boleh. Bambam yang anter dia."
Sang istri yang mendengarnya pun hanya bisa menggerucut sebal. Menghabiskan makan siang dengan wajah cemberut luar biasa. Penampilan seperti ini pun sudah sering Bastian alami. Dari berbagai macam alasan, dari yang kecil maupun besar, Rose tak segan-segan selalu menggunakan aksi heningnya bahkan selama tiga hari berturut-turut.
"Yaudah. Aku mau beli batagor punya-nya Lisa. Kamu nggak boleh larang aku!" tambah Rose di akhir kalimat saat Bastian sudah siap siaga hendak membuka mulut.
Tentang Lisa, gadis itu akhirnya bisa mendirikan bisnis sendiri bertajuk makanan kesukaannya. Dengan ditambah resep rahasianya yang Rose tau mencuri dari buku harian neneknya, bisnis gadis itu lancar jaya. Inilah kekuatan cinta yang asli. Batagor saja kalah pangkatnya dengan Hartono, pacar sahabatnya itu. Lebih tepatnya namanya Haruto sih.
Bukan Naruto loh ya.
"Aku anterin."
"Oke. Kalo sama kamu, aku jajan apa aja harus kamu bolehin ya? Tenang kok. Aku nggak licik kayak kamu. Aku juga nggak bakalan beli makanan pedes atau yang nggak dibolehin buat orang hamil. Aku juga nggak mau gagal jadi ibu. Nanti tetangga mau bilang apa? Apa lagi Mama kamu udah nunggu tujuh hari tujuh malam nunggu aku lahiran padahal aku baru aja bilang kalo aku hamil. Kamu juga jangan keseringan lembur. Nggak kasihan apa sama istri sendirian di rumah? Nanti kalo aku digondol maling gimana? Secara aku ini cantik, imut, kayak Olaf. Atau kamu bisa berangkat jam delapan pagi pulangnya jam tiga sore. Kamu 'kan bos. Kalo ada karyawan yang protes langsung slempang aja. Eh, itu juga nggak baik. Aku nggak mau anak aku nanti jadi jahat dan sombong kayak kamu. Bla-bla-bla ..."
Bastian hanya mendengarkan ala kadarnya. Semakin ke sini, kadar kecerewetan Rose naik hingga ke titik puncak. Setiap bertemu, pasti ada saja hal yang dikomentari. Itu pun sekali komentar tidak ada habisnya. Entah itu mau ada sangkut-pautnya dengan tetangga lah, Pak Lurah lah, atau bahkan bapak kalian, pasti selalu bisa menjadi titik sambung dari topik yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan hal tersebut.
![](https://img.wattpad.com/cover/280238789-288-k50071.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔] Longtemps
FanfictionHanya saja ... Rose merasa Bastian selalu tau di mana dirinya berada.