Kejar Diskon, Harga Mati (4/5)

720 140 0
                                    

Terik matahari ia abaikan. Rombongan yang menghimpit sana-sini serasa memacu adrenalin. Walaupun tubuh rasanya mau remuk, kejar diskon besar-besaran adalah hal terpenting yang menjadi prioritasnya untuk hari ini.

"Aiken! Jangan jauh-jauh!" teriak Rose dari kejauhan saat melihat Aiken yang berlari. Namun wajahnya berubah lega saat mengetahui bahwa Tian lah yang menjadi tujuan Aiken.

"Lagian, suami lo kaya. Beli mobil lima bisa tuh, tapi beli baju aja masih sering kejar diskonan," celetuk Lisa.

Rose mendengus pelan. Menaikkan dagunya pongah.

"Hey, walaupun gue udah punya suami berjaya, kejar diskon adalah keahlian gue. Sesuatu yang wajib dipertahankan!"

Seketika Lisa menampilkan wajah mengejek, "Bilang aja lo cuma mau liat wajahnya si Ceye yang di pajang di Mall gegara skandal keluarganya kemarin! Ya elah!! Di tipi mah banyak!!"

"Enggak. Gue cuma turut berbela sungkawa atas jatuhnya si Bison."

"Lo jahad amat dah. Tapi ini nih yang gue sukain dari lo." Lisa tertawa puas.

"Eh, jadi gimana hubungannya Eno sama Ceye? Perasaan udah lancar enam taun." Rose menegakkan punggungnya penasaran.

Lisa mengibaskan tangannya. Wajahnya terlihat masam, "Masak lo percaya gitu aja? Wong Eno udah dapet gandengan di belakangnya Ceyen."

"Beneran? Emang apa masalahnya? Masih sama?"

"Ya iyalah. Mak lampir kayak dia mana mungkin bisa berubah!" dengus Lisa.

"Ooh." Rose memalingkan wajahnya tidak peduli. Merasa hambar dengan obrolan mereka karena topik tersebut. Sebenarnya rasa kasihan merayap perlahan melalui celah hatinya. Namun sikap kurang ajar Chaeyeon dulu memaksanya untuk tidak peduli.

"Kasihan juga sama dia. Di lain sisi gue juga nggak bisa ngapa-ngapain. Gue deketin aja gue langsung di usir."

"Ngapain bantuin orang macam dia? Yang suka ngancem-ngancem? Lebih kasihan Papanya Eno sih. Di ancem selama delapan tahun! Delapan tahun!! Gue aja itu udah lulus SD!" Lisa menjelaskan dengan wajah kolot.

"Eh, Aiken tuh." Lisa langsung menunjuk Aiken dan memaksanya berhenti berbicara.

"Loh? Dia sama siapa?" Rose bangkit dari duduknya secara perlahan. Walaupun dalam hati merutuk karena lupa membawa topi dan membuat kepalanya terasa di panggang di open, orang yang menggandeng Aiken membuatnya panik.

"Oooh! Gue kenal!! Dia Paman gue! Ayo samperin! Pasti Om lagi nawarin Aiken buat jajan batagor." Lisa menarik kencang tangan Rose dan mengajaknya berlari. Benar-benar tidak lupa dengan umur yang sudah bangkongan.

"Aiken boleh bawa ini? Soalnya Mama sering marahin Aiken kalo Aiken nggak beresin pecahan puzzle-nya lagi. Trus nanti Aiken pasti di ancem bakalan nggak di beliin lego. Kalo Aiken nggak di beliin lego, itu berarti Aiken nggak bahagia."

"Nggak apa Kento Aji. Om ngerti kok. Mama kamu nggak salah, kamu yang salah. Ok?"

"Aiken yang salah? Tapi katanya Tante Lisa anak kecil itu selalu benar."

"Woy bocil! Kapan gue ngomong kayak gitu?? Waaah, kecil-kecil udah pinter pitnah ini bocah!" Lisa datang tergopoh-gopoh lalu membekap mulut anak berusia delapan tahun itu. Pura-pura tidak melihat tatapan sahabatnya yang seolah-olah ingin membuatnya mati di tempat.

"Loh? Mama? Aiken kira Mama lagi sama Papa." Aiken berjalan di tengah-tengah mereka menuju Rose dan meraih jari kelingkingnya.

"Di sana banyak orang yang bawa kamera. Aiken takut masuk TV, nanti masuk berita. Kalo Aiken masuk berita, berarti Aiken bakalan terkenal. Aiken nggak mau di kejar-kejar kayak Papa Ian. Aiken lebih bahagia main lego dari pada masuk TV," ocehnya.

"Ssssst!" Rose memberi isyarat untuk diam. Merasa malu tak terkira saat mendengar ucapan Aiken.

"Aiken, mana Papa?" tanya-nya.

Aiken menunjuk ke pojok parkiran. Tempat yang tidak terlalu jauh dari mereka. Gerobak batagor yang dianggap milik Paman Lisa itu sedikit menghalangi pandangannya.

"Itu. Kasian Papa. Padahal udah pakai topi, tapi masih di ajak panas-panasan sama mereka. Mereka orang-orang yang nggak punya akhlak ya Ma? Katanya Tante Lisa, orang yang nggak peduli sama orang lain itu sering disebut manusia tanpa akhlak. Aiken nggak mau jadi kayak gitu."

"Iya-iya Sayang. Aiken bilang tadi Aiken nggak mau masuk TV 'kan? Sekarang, ayo masuk ke sana, trus cari lego buat Aiken!!" seru Rose dengan ceria.

Semenjak bisnis suaminya menjadi topangan negara karena berhasil membuat mesin kendaraan dan menjadikan sebagai pembisnis yang berhasil membuat alat transportasi utama untuk negara sendiri, Tian sering berkeliaran di layar TV berkat mengembangkan usaha di usia begitu muda. Yang sedikit membuat Rose sebal, bahkan saat mereka ke luar rumah, selalu saja ada orang yang merekam mereka. Bukan karena apa, hubungan keluarganya dan keseharian mereka terasa terintimidasi dan membuatnya tidak nyaman. Ia hanya ingin ruang privasi sebagaimana kesopanan bertindak sebagai tameng agar mereka tidak mencari lebih jauh privasi kehidupan seseorang.

Mereka berdua memilih segera masuk ke Mall, meninggalkan Lisa yang masih sibuk dengan obrolannya. Menuju ke lantai dasar tempat di mana diskon di adakan. Walaupun Rose telah berhasil hidup sukses, lebih tepatnya karena peran Tian, keserempet dikit nggak apalah. Apa lagi ini diskon besar-besaran dalam sepekan oleh ambassador favoritnya.

Selama dua jam ke depan, mereka berdua benar-benar sibuk berjalan ke sana ke mari. Aiken sudah mengeluh lelah, namun keinginan Mamanya adalah keinginan mutlak yang tidak bisa diganggu gugat. Alhasil Aiken memilih menunggu di bangku salah satu stand minuman dalam diam.

"Nih, Aiken pegang ini. Mama kasih hadiah lego karena Aiken udah mau nemenin Mama."

Aiken langsung berseru senang. Walaupun bibirnya hampir saja keceplosan mengeluarkan kata-kata keluhan, ia dengan sigap membatalkan hal itu agar lego limited edition yang dirinya inginkan tidak hangus.

"Mama emang Mama yang paling ngertiin Aiken. Maacih Mamaa!!" Aiken mencium pipi Rose saat wanita itu menunduk.

"Sekarang. Kita pulang! Bisa liat Olaf main salju!!" Rose menggandeng Aiken yang melompat-lompat kecil. Berkeliling di lantai dasar saja sudah membuat kakinya terasa lepas dari porosnya, lebih baik segera keluar dan mencari Tian.

"Kamu ke mana aja sih?? Emang sesi tanya-jawabnya selama itu? Aiken kasian tau, nunggu sendirian!" seru Rose sedikit kesal saat Tian mendekat ke arahnya.

Tian menghela nafas tipis. Berjalan semakin dekat dan melepas topinya hanya untuk ia pasang kembali di kepala istrinya. Matahari semakin bersinar terang, begitu pula dengan suhu udara yang luar biasa panas.

"Kita pulang. Kamu bisa kecapean."

Rose tidak lupa bahwa keadaannya kini tengah berbadan dua. Namun juga tidak begini juga. Dirinya ingin Tian lebih peka.

"Aku capek tauk."

"Mama! Mama nggak boleh ngeluh. Nanti adek juga sering ngeluh kayak Mama! Kalo adek sering ngeluh, Aiken gimana dong? Aiken nanti bakalan ikut ngeluh juga. Kalo kita bertiga ngeluh, kasihan Papa nanti pusing."

Tian mengusak rambut putranya sebentar. Lalu mengambil kantung belanjaan Rose tanpa banyak bicara. Walaupun Rose sempat menolak saat tangannya hendak dirinya genggam, sepertinya istrinya kembali melaksanakan mode ngambeknya.

Setelah mereka semua masuk ke mobil, Tian segera memutar arah untuk keluar dari parkiran. Mulai melajukan mobil ke perjalan pulang ke rumah. Tak lupa sebelum itu menyerahkan sebungkus coklat Harley's Kiss untuk mengobati kepala Rose yang sepertinya dalam keadaan panas.

"Udah nggak marah?"

Rose yang ditanya hanya mesam-mesem. Memakan coklatnya dalam diam. Seperti inilah roda kehidupan mereka. Yang kadang jelas, kadang juga tidak jelas.

[✔] LongtempsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang