Senja, di mana Kami Memulai (2/5)

860 171 4
                                    

Udara sore membawa angin sejuk yang mampu membuat mata mengantuk. Sang mentari kini mulai bergerak turun, membuat cahaya yang semulanya biru kini berubah menjadi jingga yang memanjakan mata. Sejauh mata memandang, mereka dihadapkan dengan karang besar yang mengapit dan ombak laut yang sedang pasang.

Suasananya benar-benar tenang. Sedangkan Aiken sibuk membuat rumah untuk kepompongnya di sebelah tiang yang sengaja Tian tancapkan. Itu adalah penanda untuk tidak melewati tiang tersebut saat Aiken bermain.

"Ma, aku capek buat rumahnya. Nggak jadi-jadi!"

Kala itu Aiken yang baru berusia tujuh tahun mengadu dengan bibir menggerucut. Melempat sekop kecilnya ke sembarang arah, lalu melompat ke pangkuan Rose. Tian sempat memperingatkan, mengingat Aiken menempel kepada istrinya dalam keadaan penuh pasir.

"Bersihin pasirnya dulu."

Aiken yang mendengar ucapan papanya malah semakin cemberut. Berdiri dari pangkuan Rose dan menghentakkan bajunya yang terkena pasir. Lagi-lagi ia mendapat teguran karena berhasil membuat mamanya kelilipan.

"Aku salah terus," ujarnya hampir mengeluarkan air mata.

"Aiken, sini. Papa nggak nyalahin Aiken kok. Papa 'kan cuma ngasih tau, mana yang harus Aiken lakuin, biar Aiken jadi pinter, bisa bedain mana yang salah dan mana yang benar. Artinya Papa ngelakuin itu buat kebaikan Aiken 'kan? Nah, kalo seseorang melakukan kebaikan untuk Aiken, Aiken harus bilang apa?" Rose menjelaskannya dengan lembut. Mengusap pipi Aiken yang kotor karena pasir.

Aiken menatap mamanya dengan mata berbinar, kemudian menatap Tian dengan mata ragu-ragu. Anak itu memilin ujung bajunya, merasa malu harus mengucapkan terimakasih.

"Papa, Aiken minta maaf. Terus Aiken juga mau bilang makasih, Aiken bakal ngelakuin apa yang diucapin Papa kok."

"Nah, sekarang keluarin permennya. Kamu baru kemarin ngeluh kalo gigi kamu sakit 'kan?"

Aiken yang mendengar itu seketika terbelalak kaget. Padahal sebisa mungkin, dirinya menyembunyikan permen kesukaannya dari mata tajam mamanya. Pada akhirnya semua yang dirinya coba simpan, mamanya pasti bakalan tahu.

"T-tapi Aiken baru makan satu kok Ma. Masak di minta lagi? Ini yang ngasih temen Aiken loh. K-kalo Aiken nggak boleh makan, nggak akan Aiken makan kok. Aiken bakal simpen aja, soalnya ini yang ngasih temen baik Aiken."

Rose menyipitkan matanya, "Beneran nih? Siapa namanya?"

Aiken menunduk malu-malu, "H-Hana."

"Oh? Temen deket Aiken namanya Hana?"

Aiken mengangguk pelan, "I-iya. Hana temen Aiken yang paling baik."

Rose tertawa, "Beneran? Kasih tau Papa, Aiken punya temen baru. Yang mau dijadiin temen selama-lamanya."

Aiken yang mendengar itu langsung cemberut, "Nggak!"

"Loh kenapa? Aiken kok gitu? Semua itu milik bersama. Apapun yang dialamin Aiken, Aiken harus ngomong sama Papa-Mama. Kalo pun Aiken malu ngomongnya, Aiken bisa cerita ke Mama aja. Biar Papa nggak tau rahasia kita." Rose cekikik. Mengabaikan lirikan Tian yang mengarah kepadanya.

"Iya. Mama emang paling ngertiin Aiken kok. Tapi Papa yang sering beliin Aiken lego. Jadi Aiken bingung, mau pilih yang mana."

"Looh? Semua lego kamu tuh yang milihin Mama tauk!"

"Tapi 'kan belinya pakai uangnya Papa. Kalo Papa nggak ada uang, Mama nggak bakalan bisa milihin Aiken lego, kalo Mama nggak bisa milihin Aiken lego, Aiken jadi nggak bakalan pernah bisa punya lego. Kalo Aiken nggak punya lego, artinya Aiken nggak bakalan bahagia. Jadi, Mama sama Papa tuh sama-sama penting buat Aiken. Biar Aiken bisa main lego."

Sebenarnya Rose hampir saja tersanjung dengan ucapan Aiken yang mengharukan walaupun harus berputar tujuh keliling terlebih dahulu, namun itu semua langsung buyar di saat kata-kata terakhir Aiken terlontar.

"Ken, mau main?"

Mereka berdua menoleh. Sama-sama kaget saat melihat Tian yang datang dengan sebuah bola karet di tangan.

"Papa?? Papa udah berubah jadi Om Eno??" tanya Aiken antusias. Langsung melompat dari pangkuan Rose berlari menghampiri Tian.

Tian meliriknya sebentar. Kemudian menunduk dan menyerahkan bola tersebut kepada Aiken. Setelah Aiken menerima bola tersebut, Tian langsung menunjuk ke salah satu titik di mana tempat itu tidak jauh dari tenda mereka.

"Kamu bisa main sama mereka. Main sambil kenalan. Kamu nggak lupa caranya kenalan 'kan?"

Aiken menatap segerombolan anak itu dengan ragu. Kemudian menatap Tian dengan panik.

"Pa, aku lupa caranya kenalan! Aku harus tanya Mama dulu!" Kemudian dengan secepat kilat, anak itu berlari tergopoh-gopoh ke arah Rose dalam keadaan membawa bola besar tersebut.

"Ma! Ajarin Aiken caranya kenalan! Biar Aiken keliatan keren!" Aiken menaruh bola tersebut di tanah. Membenarkan celananya yang hampir melorot.

"Sebutin nama kamu. Nggak perlu skill-skill segala," balas Rose dengan mata melotot.

Aiken balas menatapnya dengan sorot wajah bingung.

"Kenapa Ma? Katanya kalo punya wajah keren kayak Papa, harus di manfaatin sebaik mungkin."

Seketika Rose langsung melotot, "Diajarin sama siapa kamu?"

"Tante Lisa."

Saat itulah Rose mendesah lelah selelah-lelahnya.

"Katanya Tante Lisa, dia itu cenayang. Katanya tujuh bulan lagi Aiken bakalan punya adek. Mama ingetin Aiken ya, kalo tujuh bulan ke depan, Aiken pasti bakalan punya adek."

Rose tak habis pikir dengan Lisa yang masih saja bertahan dengan sikap narsisnya. Apa lagi memanipulasi anak kecil seperti Aiken ini, dibilangin kalo cabe rasanya manis aja dia bakalan percaya.

"Kenalin, nama aku Aiken Radja Pamungkas. Anaknya Papa Ian sama Mama Bunga."

Rose hanya tersenyum melihat putranya yang kini mulai berani berinteraksi dengan hal baru. Sebelumnya Rose dibuat khawatir saat Aiken enggan berkenalan dengan orang lain, alhasil dirinya memilih melakukan terapi mandiri yang membuat dampak perubahan begitu besar.

"Dia lebih mirip kamu dari pada aku. Aku heran deh, emang yang buat kamu sendiri apa?"

Tian mendengus kecil saat mendengar rangkaian kata yang dilontarkan Rose. Memang ucapannya tidak ada yang salah. Secara fisik, Aiken mewarisi bentuk wajahnya namun dengan dagu seratus persen mirip Rose. Sedangkan tingkah laku putranya itu lebih mendominasi mirip istrinya. Bahkan dirinya tidak kebagian secuil pun tentang pewarisan sifat.

"Aku pengen anak cewek. Punya Aiken rumah kita udah kayak pasar malem," ujarnya sembari mengelus perut.

"Cewek atau cowok, yang penting sehat."

Rose cemberut, "Iya-iya. Aku tau. Tapi aku pengen anak cewek. Biar nanti kalo ke salon ada temennya."

"Bas, kamu inget nggak? Di pantai ini, kamu yang ngajakin aku buat jadi pendamping kamu. Untung waktu itu aku lagi kalem. Mana nggak ada romantis-romantisnya lagi! Untung lagi aku juga penyabar."

Tian hanya mengangguk pelan. Mau digimanain, dirinya bukanlah lelaki romantis seperti  Nobita. Dirinya adalah seorang pria yang kaku. Walaupun berpendirian kuat, jiwa seorang lelaki yang harus berani mepet terus membuatnya tak bisa berbuat banyak, karena itu sangat diluar karakternya.

"Apapun pendapat lo tentang gue, yang penting gue bakalan cinta sama lo seumur hidup."

Rose terdiam. Walaupun ucapan Tian barusan terasa begitu menyentuh hati. Namun rasa-rasanya ada yang salah. Tapi dirinya tidak bisa menemukan apa itu, sehingga membuat dirinya merasa gundah selama beberapa detik.

"Kok jadi gue-lo sih?? Aku colok nih ya!"






[✔] LongtempsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang