3

1.2K 72 0
                                    


Dari tempat duduknya sekarang Arga dapat melihat dengan jelas betapa akrab ibunya dengan gadis bernama lengkap Karina Ayunda Wirawan itu. Padahal bisa dibilang mereka baru bertemu 2-3 kali, bukankah terlalu cepat untuk menjadi akrab?

"Lo ngapain disini?" Anak sulung dari keluarga Pradhana itu menepuk pelan bahu adiknya.

Arga mengangkat gelas, "Haus." jawabnya.

Kakaknya hanya mengangguk kemudian ikut menarik salah satu kursi di samping Arga.

"Jadi cewek itu yang mama maksud kemarin?"

Arga mengangguk,"iya."

"Mending Lo turuti maunya mama. Kalau Lo nolak terlalu awal gini malah yang ada bikin mama gencar nyodorin Lo cewek lain."

"Tapi gue-,"

"Kalau cocok ya syukur, kalau enggak kan ngomongnya enak juga ke mama."

"Tapi gue nggak mau ngasih harapan palsu ke mama." dan juga Karin. Sambungnya dalam hati.

"Menikah nggak seburuk yang Lo bayangkan, Ga."

Arga berdecak. Kenapa kakaknya berbicara seolah dia mempunyai trauma atau semacamnya. Dia hanya tidak pernah membayangkan dirinya akan menikah di masa depan. Anak muda zaman sekarang lebih bercita-cita FIRE (Financial Independence Retire Early) ketimbang menikah.

Lingkup pertemanannya sedikit banyak mempengaruhi pemikirannya akan sebuah hubungan. Arga yang berjiwa bebas tidak suka terikat dengan hal-hal semacam itu. Dia sudah cukup bahagia dengan kehidupannya yang stabil sekarang. Dan tidak ingin mempersulit diri dengan menikah.

***

Setelah puas bermain dengan cucu Tante Rani, Karin menggendong Rafa yang setengah mengambek itu ke halaman belakang. Dia menurunkan Rafa di depan sebuah akuarium besar yang berisi ikan berwarna-warni.

"Raf, lihat deh ada ikan gede banget." Namun bocah laki-laki itu masih diam saja, lengkap dengan bibir manyun khas dia jika sedang kesal.

"Rafa, jangan ngambek sama Tante Karin dong. Tante jadi sedih nih," Karin yang memasang wajah sedihnya, namun justru Rafa yang mulai menangis keras. Karin dibuat bingung dengan tingkah ponakannya ini.

"Loh, loh. Kok malah nangis?" Karin jadi bingung sendiri.

Ditengah usahanya untuk membuat Rafa berhenti menangis, dia melihat sepasang kaki mendekat ke arah mereka. Karin mendongak untuk mencari tahu siapa pemilik sepasang kaki itu. Dan dia, Arga?

Dia ikut berjongkok di depan Rafa yang masih menangis. "Kenapa? Kok nangis?" tanyanya.

"Tante Kayin jahat. Tante Kayin main sama adek bayi mulu. Tante Kayin lupain Rafa." jawabnya sambil sesenggukan.

Ternyata Rafa cemburu melihat kedekatan Karin dengan cucu Tante Rani. Mungkin di mata Rafa dia mendapat saingan dalam mendapat perhatian dari seorang Karin.

Padahal bukan mau Karin dia berlama-lama dengan bayi lucu itu, Tante Rani lah yang membuatnya tidak bisa bergerak. Wanita itu terus-terusan mengajaknya mengobrol tentang parenting kepadanya. Padahal jelas-jelas dia salah sasaran. Harusnya menantunya yang lebih pantas mendapatkan ilmu itu. Terlalu dini untuk Karin untuk belajar hal semacam itu. Baru setelah mendengar Rafa mengamuk di ruang tengah, dia mendapat alasan untuk keluar dari kamar bayi itu.

"Rafa, maafin Tante Karin ya?"

"Tante Kayin jahat." Kemudian bocah itu kembali menangis. Dia menabrak Arga dan menyembunyikan wajahnya ke dada bidangnya. Karin terheran, apalagi Arga, mengingat mereka belum kenal satu sama lain.

Katanya Bahagia Itu SederhanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang