24

953 90 3
                                    

24. Hal sulit kedua untuk dilakukan adalah menahan sakit hati.
.
.

Kontrol terhadap diri sebenarnya terletak pada kontrol kita akan pola pikir kita. Karena perasaan yang muncul merupakan buah dari pikiran yang dihasilkan oleh otak. Maka tidak salah juga jika orang bilang kebahagian terletak pada diri kita sendiri. Karin pun pernah membaca buku yang isinya menjelaskan bahwa bahagia adalah tanggung jawab diri sendiri, jika orang lain membuat kita bahagia maka itu adalah bonus.

Tapi jika orang lain membuat kita terluka, apa sebutannya? Denda? Penalti? Atau mungkin hukuman karena berani menggantungkan kebahagian pada orang lain? Entahlah..

Terlalu besar pengaruh Arga dalam hidupnya membuat Karin berpikir, haruskah dia mengabaikan saja rasa sakit di hatinya? Melupakan kejadian beberapa waktu lalu dan berpura-pura tidak terjadi apa-apa. Ibunya, mertuanya, temannya, semua akan baik-baik saja jika dia diam.

Dia hanya perlu berkorban sekali lagi.

"Gue lihat mereka nggak cuma sekali, Rin." ucap Melia dari sebrang telepon.

Karin tersenyum pahit. Saat ditempatkan pada situasi seperti ini, harusnya dia bisa bersikap egois demi dirinya sendiri. Tapi ketika ada banyak hal yang dia lindungi, sulit baginya untuk melakukannya.

"Ketemu, ngobrol biasa. Nothing to worry about, Mel." Karin mencoba membalas dengan nada santai.

"Lo yakin?"

"Iya, Melia."

"Tapi kalau Arga aneh-aneh, lo wajib lapor gue. Walau dia temen gue, tapi kalau dia salah, gue maju paling depan buat nonjok mukanya."

Kenapa Karin semenyedihkan ini? Dia memilih berbohong kepada Melia dengan mengatakan pertemuan Arga dan Elena terjadi atas sepengetahuan darinya. Jadi Melia tidak perlu mengkhawatirkannya.

"Huft," Karin menghela napas.

Pada saat tertentu rasanya dia ingin menangis. Dia mungkin bisa membohongi Melia, namun tidak dengan dirinya sendiri. Hatinya sakit, harinya terasa gila. Dia merasa kacau, namun Arga tidak juga berniat memberi penjelasan. Ini sungguh menyiksanya.

Karin sengaja tidak membahasnya lagi karena berpikir Arga masih memerlukan waktu –seperti katanya malam itu. Karin selalu menuruti semua kemauan Arga. Tapi Karin justru merasa Arga jadi semakin seenaknya.

"Mbak Karin belum mau pulang?" Karin menoleh ke arah sumber suara. Inna berdiri di sana dengan tote bag di bahu kirinya dan sebuah laptop di pelukannya.

Inna menatapnya khawatir, "Mbak Karin kelihatan... suntuk. Mau ngopi bentar di bawah?" tawarnya.

"Hmms, makasih tawarannya, Mbak Inna. Tapi nggak dulu deh."

Karin sedang tidak ingin melakukan apapun hari ini. Dia hanya berharap hari cepat berlalu. Bisa saja hari esok lukanya tidak akan sesakit hari ini. Karin berpikir lukanya akan menjadi hal yang biasa seiring berjalannya waktu. Dia akan terbiasa.

"Tenang, ini hari Jum'at. Banyak promo. Aku traktir deh." Inna mengangkat kartu kreditnya.

"Ayuklah." ajaknya lagi sambil menaik turunkan alisnya.

Karin tidak dapat menahan diri untuk tidak tersenyum. Dia memang terkenal irit, namun Karin tidak menyangka Inna akan merayunya dengan cara seperti itu.

"Sama kuenya juga ya?"

"Bungkus bawa pulang juga boleh."

***

Arga membuka pintu apartemennya dan mempersilahkan Elena untuk masuk. Wanita itu masuk, melewati tubuh Arga, lalu mulai mengamati sekeliling apartemen yang dulu sering dia kunjungi.

Katanya Bahagia Itu SederhanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang