Beberapa bulan sebelumnya...
"GO DELVA GO DELVA GO!!"
"GO KAK DELVA!! SEMANGAT!!"
"PARAH!! Perfect banget sih Kak Delva ini."
"Beruntung banget ya yang jadi ceweknya."
"Kak Delva, jadikan aku yang kedua juga mau!"
"Madu tiga juga boleh, Kak."
Itulah beberapa cuitan dari mulut-mulut cewek kelas sepuluh maupun kelas sebelas yang tengah memuji kehebatan seorang Delva di tengah lapangan indoor, tanding basket one by one bersama lawan mainnya. Pesona Delva tidak main-main. Visual yang nyaris sempurna seorang Delva memang mampu menghipnotis hampir semua kalangan murid cewek di SMA Armada. Tampan. Anak orang tajir. Ramah ke semua orang. Selebgram nge-hits. Jago main basket maupun alat musik gitar. Hal tersebut membuat Delva menjadi ketua klub basket maupun klub musik. Satu tahun lalu saat masih kelas sebelas, Delva nyaris menjadi calon ketua OSIS, tetapi cowok itu menolak dengan alasan masih ada murid yang jauh lebih pantas menyandang titel ketua OSIS. Ia hanya didaulat menjadi anggota saja meski jarang aktif mengikuti organisasi tersebut. Tentu saja, dengan senang hati dan entah berasal dari mana, Delva dinobatkan menjadi bintang sekolahan selama hampir tiga tahun ini.
Delva lebih suka menghabiskan waktu dengan berolahraga, bermain musik dan juga nongkrong di kelab malam bersama teman-teman terbaiknya. Lima sahabat terbaik yang dimiliki Delva sejak mereka sama-sama masuk SMA Armada. Lima sahabat yang kini juga sedang menonton Delva melawan Army dalam bertanding basket one by one.
"Army udah kalah telak. Sok-sokan nantangin Delva duluan!" Salah satu sahabat Delva bernama Iman, mulai berkomentar.
"Malu parah kalau gue jadi Army. Lihat tuh gayanya sok cool banget," timpal Rizal dengan tatapan jijik.
Skor sudah mencapai 32-14 untuk kemenangan Delva. Sementara Army sang lawan tampak belum ingin menyerah. Ia berambisi untuk bisa mengejar ketinggalan gol yang cukup jauh itu.
"Kak Delva udah menang. Uuhh... keren gila!" Terdengar suara cewek-cewek lagi.
"Mending lawannya go out aja deh. Malu-maluin," sahut yang lain seraya mengacungkan jempol ke bawah.
Rega yang merupakan ketua geng mereka tampak menghela napas mendengar jejeritan para pendukung Delva itu. "Man, lihat kan, bahkan nggak ada yang mendukung Army sama sekali."
"Makin-makin dah si Delva sohib kita ini. Semakin ke sini, bintangnya semakin bersinar, cuy." Fendi geleng-geleng kepala, takjub banget dengan kemampuan dan visual dari Delva.
"Bangga ya kita bisa jadi sahabat Delva. Secara nggak langsung kita juga kena sinarnya." Ronny, anggota geng Delva yang terakhir ikutan berkomentar. Ronny satu-satunya anak yang penurut di geng mereka. Ronny lebih cenderung kalem dan tidak banyak gaya seperti Delva, Rega, Fendi, Iman dan Rizal.
"DELVA ANTONIO!! DELVA ANTONIO!! UUH LOVE YOU!!"
"DELVAAA! OMIGOOSS!!"
Suara-suara histeris itu benar-benar membuat salah satu orang di antara para penonton menahan geram setengah mati. Tangannya terkepal, mengontrol aliran emosi yang seringkali muncul saat-saat menyaksikan hal seperti ini: ketika Delva mendapat banyak pujian.
"Najis!! Nggak seharusnya lo mendapatkan semua kepopuleran ini seorang diri, Delva!"
Tatapan orang tersebut cukup tajam. Menghujam sosok Delva dari kejauhan.
"Menjadi Bintang Sekolahan, menjadi cowok paket komplit. Gue akan pastikan, suatu saat lo akan hancur, Delva!"
Akhirnya pertandingan usai setelah Army tumbang. Cowok itu lelah dengan tubuh bersimbah keringat, terlentang di tengah lapangan. Sialnya, tidak ada yang peduli dengan kondisi Army sama sekali. Semua perhatian tetap tertuju ke satu arah yaitu sang bintang Delva Antonio. Melihat itu, Army merasa muak dan memutuskan pergi keluar gedung olahraga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bintang Kematian : Pembully Berhak Mati!! [End] ✔
JugendliteraturLima orang remaja mendapatkan sebuah teror mengerikan usai salah satu teman mereka mati!! Tidak tanggung-tanggung, sosok peneror yang mengaku dirinya Bintang Kematian itu juga memegang rahasia kotor dari masing-masing lima remaja bernama Rega, Fendi...