Lama kelamaan, Ame mulai kewalahan mengejar Fendi dan Rosita yang sudah berlari cukup jauh di depannya. Pelurunya hampir habis sia-sia, semuanya melesat tidak ada yang tepat mengenai target.
"Sialan! Gue nggak akan tinggal diam! Gue bakal nyari ke mana pun kalian pergi!" ujar Ame dengan napas yang tersengal-sengal. Ame bahkan sampai lupa bahwa ia telah meninggalkan sepeda motornya.
Di tengah aksi kejar-kejaran tersebut, Fendi tak kuat lagi untuk melanjutkan lari. Sekujur tubuhnya dipenuhi keringat dan rasa sakit yang terasa di bagian bahu kiri akibat timpukan batu besar dari Ame tadi.
"Fendi, lo pasti kuat!" Rosita menggenggam tangan Fendi, lalu tak sengaja mataya menangkap sebuah boks sampah tak jauh dari mereka berhenti.
"Kita ngumpet di situ, Fen!"
Tak ada pilihan lain selain Fendi harus mengiyakan usul Rosita. Lagi pula, saat ini dirinya sudah cukup lelah.
Kini Fendi dan Rosita berada di dalam boks sampah yang untung saja isinya belum penuh. Namun tetap saja bau tidak sedap segera menyergap hidung mereka berdua.
"Ta, gue tadi dengar lo bilang sama Bang Ame kalau lo mau keluar dari kerjaan itu. Kenapa?" Fendi dengan napas yang tak beraturan memecah keheningan.
Rosita menyandarkan kepalanya di bahu Fendi. "Gue cuma mau berhenti aja, Fen, gue capek, gue pengen berubah jadi cewek baik-baik. Tapi gue nggak yakin apa masih ada kesempatan buat memperbaiki diri. Lo sendiri memutuskan buat nggak lanjut juga?"
Fendi mengangguk. "Itulah sebabnya Bang Ame ngejar-ngejar kita. Dia nggak terima kalau kita memutuskan kerja sama dengan dia."
Rosita menghela napas. "Setelah ini gue bingung harus gimana. Orangtua gue di kampung udah nggak peduli sama kehidupan gue."
"Rosita, lo masih punya banyak kesempatan untuk mengubah hidup lo jauh lebih baik lagi. Gue janji bakal bantu lo semampu yang gue bisa."
Tanpa Fendi sadari, Rosita sudah menitikkan air mata.
"Gue sayang sama lo, Rosita."
Rosita tersenyum tipis. "Gue juga sayang sama lo. Lo itu udah seperti adik yang nggak pernah gue punya."
"Kata-kata itu lagi. Lo cuma anggap gue adik lo. Sampai kapan? Rasa gue ke elo lebih dari sekedar kakak-adik." Fendi menatap Rosita lekat-lekat, meski di dalam boks sampah itu wajah mereka tidak terlihat jelas.
Rosita menggenggam tangan Fendi dengan erat. "Maaf, Fendi... lo itu cowok baik, lo nggak pantas mendapatkan cewek macam gue yang minus dari segi apa pun."
Fendi melengos. "Gue bukan cowok baik-baik, Ta. Gue juga jahat. Gue kotor. Gue suka ngebully anak-anak di sekolah."
"Itu nggak menjadikan alasan kita harus bersama. Sampai kapan pun, lo tetep adik gue, Fendi. Oh ya, ngomong-ngomong, tadi sakit ya di lempar batu sama Bang Ame?" tanya Rosita.
"Nggak usah nanya." Fendi menjawab ketus. "Ya jelas sakit lah, tapi nggak apa-apa kok. Paling memar dikit."
Rosita tersenyum, menatap wajah Fendi dalam jarak dekat. Menyadari hal itu, Fendi jadi grogi dan memutuskan untuk berdiri.
"Lo jangan jadi jutek gitu dong. Nggak lucu tau."
"Kayaknya sudah aman nih. Kita keluar yuk!" Fendi mengabaikan perkataan Rosita.
Rosita memutar bola mata, akhirnya menurut. Kemudian Rosita membantu Fendi membuka tutup boks sampah. Merasa Ame sudah tidak mengejar mereka lagi, Fendi dan Rosita keluar dari boks sampah itu dengan perasaan yang sedikit lega.
"Tapi, gimana kalau besok-besok Bang Ame nemuin kita? Kita nggak sepenuhnya aman, Fen."
Fendi mengacak-acak rambutnya, menatap Rosita yang malam ini mengenakan sackdress warna cokelat muda. Cewek itu benar. Ame akan mudah menemukan di mana mereka berada.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bintang Kematian : Pembully Berhak Mati!! [End] ✔
Novela JuvenilLima orang remaja mendapatkan sebuah teror mengerikan usai salah satu teman mereka mati!! Tidak tanggung-tanggung, sosok peneror yang mengaku dirinya Bintang Kematian itu juga memegang rahasia kotor dari masing-masing lima remaja bernama Rega, Fendi...