Eps.6 - Rencana Pengkhianatan

602 58 96
                                    

Ternyata Clava disekap oleh Delva lantaran cewek tersebut hilang kendali, melempari Delva dengan berbagai benda yang ada di kamarnya sembari mengeluarkan kata-kata makian untuk Delva. Delva sendiri tidak bisa menahan kesabaran sampai-sampai ia dengan tega mencekal tubuh Clava lalu segera menyumpal mulut Clava menggunakan kanebo. Setelah itu Delva mengikat kedua tangan Clava menggunakan kain seadanya, karena hanya itu benda yang tampak terlihat di kamar Clava.

"Oke, Clava, kalau ini memang mau lo." Delva mendesis tepat di telinga Clava.

Clava meneteskan air mata. Hatinya berontak tak terima. Sebersit kebencian timbul di benak Clava, sampai cewek itu mengepalkan telapak tangan sekuat tenaga. Jadi begini balasan sikap gue selama ini ke elo, Delva?

"Mulai sekarang lo dan gue putus! Nggak ada lagi VaVa Couple."

Clava semakin menahan emosi. Ini tidak dibayangkan Clava sebelumnya. Clava hanya ingin Delva merasakan apa yang ia rasakan ketika diduakan. Namun, Clava benar-benar tidak ingin mendengar kata putus dari mulut Delva.

"Mungkin benar. Lo lebih milih Army, si cowok teler itu dibanding gue yang jelas-jelas sang bintang!"

Usai mengatakan kalimat terakhir itu, Delva lekas mendorong tubuh Clava hingga terpental jauh dan menabrak lemari kaca. Sontak saja kaca tersebut pecah dan untung saja Clava berhasil menghindar. Delva tak peduli lagi dengan Clava. Keputusannya sudah bulat. Biarkan saja Delva melepas Clava, meski cukup berat. Delva berpikir dan percaya bahwa dirinya masih bersinar maka akan mudah menggaet cewek-cewek di luar sana.

Delva berlari keluar dari kamar Clava, cepat-cepat menyusul kelima sahabatnya yang tadi sempat diperintah untuk membawa Army.

Setelah beberapa saat menahan rasa sakit akibat benturan yang cukup keras, Clava bangkit dan berusaha melepas ikatan kain yang melilit tangannya. Tidak membutuhkan waktu lama karena Delva tidak mengikat kencang, akhirnya tangan Clava bisa bebas. Cewek itu lekas berlari ke arah luar rumah, meneriaki nama Delva.

Clava terkejut ketika ia terlambat, menyadari mobil Delva baru saja pergi.

"Army. Pasti dia dibawa sama mereka..."

"Delva! GUE PASTIKAN NYAWA AKAN DIBAYAR DENGAN NYAWA!" Clava berseru kencang. Meluapkan segala emosi di jiwa. Ada rasa tidak terima jika Army kenapa-kenapa, Clava akhirnya memutuskan untuk masuk mobil, tancap gas mengikuti arah laju mobil Delva.

Sementara malam semakin beranjak, gerimis tipis mulai berjatuhan membasahi kota. Rega sengaja melajukan motor ke daerah yang sepi penduduk, menuntun mobil yang dikemudikan Ronny agar terus mengikuti jejaknya. Rega tahu bahwa tepi jurang yang dimaksud adalah kawasan dekat hutan yang jarang dilalui kendaraan lain. Clava yang berhasil mengejar dan tetap menjaga jarak terpantau aman. Sejauh ini, ia belum ketahuan sedang membuntuti mereka.

Sesampainya di pinggir jalan tepi jurang, Rega memberhentikan motor. Gerimis perlahan mulai menebal, semakin menciptakan hawa dingin yang mencekam.

"Re, kita yakin mau naruh Army sendirian di sini?" Setelah turun dari mobil, Ronny mengajukan pertanyaan, merasa tidak yakin.

"Lo kenapa bawel banget, Ron?" Rega membentak Ronny. "Nggak usah pedulikan resiko apa pun. Cowok ini pantas mendapat hukuman!"

"Tau lo, Ron. Nggak usah mulai rese ya!" Fendi yang baru turun dari sepeda motor, segera menyahut.

Ronny berdecak, pandangannya menatap sekeliling. "Jujur, gays. Gue beneran takut kalau terjadi sesuatu sama Army. Dari situ, kita bisa jadi tersangka utama."

"Apaan sih lo, Ron? Terserah elo setuju atau engga, itu nggak bakal mempengaruhi rencana kita. Biarin aja Army kita tinggal di sini." Delva berjalan ke arah belakang mobil, membuka bagasi tempat Army berada.

Bintang Kematian : Pembully Berhak Mati!! [End] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang