Eps.18 - Teror Sketsa Pembunuhan

405 37 60
                                    

Papa Fendi duduk di hadapan Fendi, ia berdeham sebelum bersuara. "Jadi, Tante Danila ini orang yang Papa maksud kemarin. Dia teman SMA Papa yang dulunya menjadi primadona ."

"Tapi kemarin Papa bilangnya seorang pembantu. Yang ada dalam pikiran aku kan sejenis Mbok Iyem," tukas Fendi.

Papa Fendi tergelak. "Oh iya Fendi, Papa sekalian mau minta maaf. Selama ini Papa sadar ternyata terlalu mengekang kamu."

Fendi yang sedang melahap suapan pertama tertegun sejenak.

"Kamu tahu kan sejak Mamamu meninggal, nggak ada lagi orang berharga di hidup Papa selain kamu. Makanya, Papa nggak mau kehilangan kamu, Fen, dengan cara melarang kamu melakukan ini-itu. Tapi mulai sekarang Papa janji nggak akan menuntut kamu harus gimana-gimana lagi. Terserah kamu asal kamu bebas, kamu senang, Papa akan ijinin."

Mendengar itu, Fendi jadi merasa bersalah. Ia rasa, selama ini Papanya bertindak tegas melarang hal-hal tidak baik karena semata-mata demi Fendi sendiri.

"Aku juga minta maaf, Pa. Untuk... sesuatu yang pernah menyakiti hati Papa," jawab Fendi dengan wajah menunduk.

Papa Fendi tersenyum. "Nah, Papa minta mulai sekarang juga, kamu keluar dari pekerjaanmu entah itu pekerjaan seperti apa. Ngerti?"

Fendi kembali tertegun. Dari mana papa bisa tahu kalau gue punya kerjaan? Apa Rosita yang ngasih tahu?

"Dan..." lanjut Papanya lagi. "Mengenai soal orang yang nyaris membunuh kamu waktu malam itu, nggak usah dipikirin. Seperti kata Papa kemarin, Papa udah nyiapin bodyguard buat kamu."

"Bodyguard? Jadi mereka direkrut beneran sama Papa?" tanya Fendi tak percaya.

"Ya iyalah, kamu pikir Papa bercanda? Sekarang mereka sudah siap-siap di depan rumah buat mengantar dan jagain kamu ke sekolah."

Fendi terdiam. Bingung harus merasa senang atau malah sebaliknya.

"Ingat Fendi, nggak boleh menolak mereka. Ini juga demi keselamatan kamu sendiri."

Mau tak mau, Fendi harus menerima usul papanya itu. Toh, sepertinya ada bagusnya juga Fendi dikawal bodyguard. Siapa tahu saja Bintang Kematian tidak bisa berkutik jika Fendi setiap waktu ada yang menjaga.

Beberapa saat selesai sarapan, Fendi kembali ke kamar, hendak bersiap-siap memakai sepatu.

"Oke, gue bisa manfaatin adanya para bodyguard ini buat meneror balik Bintang Kematian. Hah? Lihat aja nanti! Siapa yang bakal menang." Fendi tersenyum lebar, teramat yakin.

Seusai beres memakai sepatu, Fendi akan mengambil tas ketika sebuah dering ponsel terdengar. Ada pesan masuk.

"PEMBULLY AKAN TETAP MATI!!
SERIBU PENGAWAL TIDAK AKAN MENGHALANGI!!"

Bintang Kematian.

Fendi mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar. Ia merasa benar-benar sedang dipantau tetapi ia tidak tahu melalui media apa. Belum hilang rasa paniknya, seketika kembali datang pesan masuk lagi. Kali ini berupa file foto. Fendi membuka dengan penuh rasa takut. Mata Fendi melebar setelah mengunduh kiriman foto dari Bintang Kematian.

Foto gambar sketsa yang memperlihatkan tubuh Fendi yang terbaring di atas peti sedang dibunuh sosok bertopeng tengkorak menggunakan senjata tajam, darah berlumuran di sekujur tubuh. Sketsa tersebut benar-benar seperti nyata dan membuat Fendi semakin bergidik ngeri, terlebih ada arsiran berupa tulisan di bawah gambar tersebut; YOU MUST DIE. Dead - 3.

Fendi meneguk ludah dengan susah payah. Cepat-cepat Fendi meletakkan ponsel ke dalam saku celana, bergegas lari keluar rumah untuk berangkat sekolah.

Bintang Kematian : Pembully Berhak Mati!! [End] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang