Ep 12. Kritis

47 13 0
                                    

"Gimana ciloknya, Na?"

"Enak, Mas." Gue senyum. "Udah lama gak makan ini."

Selain beliin cilok, Adimas juga beliin gue kopi dari Point Coffee. Mungkin biar bisa duduk di kursi mereka tanpa ngerasa bersalah.

"Lo gak nemenin Ayam main?"

Setelah nyeruput minumannya, Adimas ngomong, "Dia mah udah biasa kalah, kamu lebih butuh emotional support."

[dukungan batin]

Gue mendecih. Emotional support? Dasar buaya! "Gak heran ciwi-ciwi komplek kejaring sama lo."

"Ih, udah dibilang aku tuh cuma bantu dikit, mereka aja yang baper." Adimas cemberut. "Emangnya aku gak boleh jadi orang baik?"

"Imingnyi iki gi bilih jidi iring biik. Yayaya." Gue mencibir terus mengigit ci—

"A, ah!" Anjrit, kok di dalem ciloknya ada air? Lidah gue kebakar anjir!

"Ya ampun, Na. Sebentar, aku beli tisu dulu." Adimas jalan cepet ke dalem Indomaret, gak lama kemudian dia keluar bawa tisu basah.

"Kamu tuh makan pelan-pelan, dong." Dia berlutut di depan gue terus ngelap tangan gue. "Tangan kamu lengket semua jadinya."

He handle me with care. Caranya ngusap lembut tangan gue, tatapan seriusnya, dan sentuhan lembutnya bikin badan gue nolak gerak. Otak gue berhenti.

[dia mengurusku dengan perhatian]

His sexy hand are ... touching mine, and my hand looks sooo small. Ohsyit, tiisaintgoodformyheart, I—

"Na, hey! Kamu mikirin apaan?" Adimas goyangin tangan depan mata gue. "Dari tadi ditanyain gak jawab."

Ya ampun, tenanglah wahai jantung. You're not supposed to go wild over him!

[kamu seharusnya gak menggila buat dia]

"Iya, lo cuma baik aja, mereka yang terlalu gampang baper." Gue menghindari tatapannya.

"Iya." Adimas tersenyum. "Kadang aku capek lho, Na. Disalahpahamin gini terus. Aku cuma ngelakuin apa yang Mami ajarin ke aku, tapi banyak yang baper karena itu. Akhirnya aku di-cap tukang PHP."

"Apa karena mereka jarang ngerasain bare minimum ya?" Adimas mendongak, natap gue sebentar. "Jadinya aku kerasa spesial."

"Iya, emang banyak banget cowok brengsek di dunia ini." Gue mengangguk. "Your mother raised you well."

[ibumu membesarkanmu dengan baik]

Adimas ngeliatin gue lumayan lama, habis itu senyum. "Yes, she does."

"Udah bersih. Hati-hati makannya." Dia berdiri terus duduk di tempatnya.

Gue ngebuang muka. "Lo pasti deket banget sama ibu lo."

"Ya ... gak banget, tapi kalau dibandingin sama Papi, iya. Papi lebih jarang di rumah soalnya."

"Ibu lo wanita karir?"

Adimas mengangguk. "Buka restoran, Na. Yah, masih di bawah perusahaan keluarga sih."

Buset, wanita karir bisa ngebesarin anak sebaik ini? "Gue harus minta tips cara membesarkan anak," kata gue terus nyuap cilok lagi

"Sayangnya kamu gak bisa."

Gue noleh, Adimas lagi senyum tipis, tapi auranya sendu. "Mami meninggal waktu aku masih kuliah."

"Ah, maaf. Gue turut berduka."

"Gak apa-apa, aku udah ikhlas. Makasih, Na." Adimas bersandar ke kursi terus menghela napas. "Beliau itu perempuan paling hebat yang pernah aku temuin."

Marsmellow Isi Cabai |✓|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang