Epilog

52 8 2
                                    

Kerja tapi kayak jalan-jalan. Siapa? Gue lah. Sebenernya gue gak kerja-kerja amat, cuma diundang ke festival film karena film pendek gue mau ditayangin. KEREN BANGET GAK SIH COOOY? Saking kerennya harus disebut business trip!

Dengan roti lapis dijepit di ketek, gue memotret keadaan sore itu (gue gak bawa alat gambar karena bakal berat). The sky is clear, there's no clouds in sight. Cahaya keemasan matahari sore memantul di air kanal, membuatnya bersinar oranye.

[langitnya bersih, gak ada awan yang keliatan]

Gue menjengit waktu hape gue bergetar. Anjir, untung gak jatoh ke kanal. Oh, ini siapa yang telpon? Nomor asing, dari kodenya sih ini nomor lokal.

"Hello, this is—"

"Una. Tebak aku lagi di mana?"

Lho? Ini suaranya Adimas? "Jangan bilang lo ngekor gue ke sini?"

Piip! Telponnya ditutup. Kurang ajar.

Bruk! Seseorang meluk gue dari belakang. Hangat dan empuk.

"Seratus buat Una!" Adimas mengecup pipi gue. "Aku kangen."

"Anjir lo, bener-bener!" Gue mencubit tangannya Adimas biar dilepas. "Roti gue jatoh tau!"

Gue buru-buru ngambil roti gue yang tergeletak tak berdaya di tanah begitu Adimas ngelepasin pelukannya. Anjir, untung gue bungkus rapet-rapet, jadi isinya gak kenapa-napa.

"Nanti kita beli lagi."

Emang ini anak. "Bukan masalah duitnya, Mas. Ngantrinya lama banget." Gue cemberut.

"Gak apa-apa, nanti kamu tunggu aja, aku yang ngantri." Dia senyum lebar.

Sigh. Ini anak tuh ... bego banget gak sih? "Gak usah, masih bisa dimakan."

"By the way, lo kok bisa ada di sini? Gak kerja? Emangnya gapapa?"

Adimas mengangguk. "Aku 'kan bosnya."

Anjir, dasar orang kaya! Ngeselin banget. "Terserah lo deh."

"Eh, tunggu!" Adimas menahan tangan gue. "Aku mau ngomong sesuatu."

"Ngomong apaan? Kan bisa sambil jalan."

"Enggak, gak bisa." Adimas mengeluarkan sesuatu dari sakunya lalu berlutut.

Dia berlutut; di depan banyak orang. Ini orang udah gila ya!? Malu-maluin banget.

"Una, setelah bertahun-tahun aku nyari kamu, berbulan-bulan ngejar kamu. Selama aku kenal kamu, cintaku cuma bisa tumbuh makin besar. Jadi ...."

Adimas mengulurkan tangannya, membuka kotak berwarna biru gelap. "Will you marry me?"

Hah? Otak gue berhenti bekerja. Nikah? NIKAH!? ADIMAS NGAJAKIN GUE NIKAH?

"Kenapa, Na?" Adimas menelengkan kepalanya, menatap gue dengan mata samoyednya. Lah si bangsat malah nambahin tekanan gue!

"I-ini apa gak terlalu cepet? Kita 'kan baru kenal beberapa bulan, pacaran aja belum."

"Emangnya kenapa? Yang penting kamu mau."

INI ORANG BENERAN GOBLOK YA? IQ-NYA BERAPA SIH?

"Ya gak bisa gitu dong! Ada banyak yang harus dipikirin."

"Perjanjian pra-nikah, mau tinggal di mana, mahar, masalah anak juga! Gue belum nabung buat nikah."

"Itu bisa didiskusiin nanti." Adimas berdiri terus mendekat ke arah gue. "Kalau yang berhubungan sama uang, kamu gak usah pusing. Kamu tinggal bawa diri aja."

Gue menggeleng. "Keluarga kita juga jomplang banget! Are you sure your family will like m—"

[emangnya lo yakin keluarga lo bakal suka sama gu—]

Cup! Pandangan gue gelap dan bibir gue rasanya hangat. Wangi manisnya Adimas memenuhi hidung gue. Gue bisa ngerasain tangan besarnya megang pundak gue.

Hembusan angin hangat kerasa di wajah gue waktu Adimas melepas ciumannya. Wajahnya deket banget. "Kita selesein itu satu-satu nanti, intinya kamu mau apa enggak?"

Jantung gue berdegup kencang. Anjir, Adimas baru nyium gue? Di bibir pula!? Gue menutup wajah dengan tangan. Harusnya gue marah, 'kan? Kenapa ... kenapa gue malah suka!?

HWAAA GUE UDAH GILA. ADIMAS SIALAAAAAAN. DASAR PENCURI BUNGA!

"Jadi gimana, Na? Iya atau enggak?"

Gue mengangguk pelan. "Tapi ada syaratnya."

"Syarat apa?"

Gue menarik napas panjang. Tenang, Una, tenang. "Lo harus ngelewatin masa percobaan."

"Berapa lama?"

"Setahun."

Binar di mata Adimas langsung lenyap. Dia mengerutkan wajahnya. "Kelamaan, Na. Sebulan aja, ya?"

Anjrit, sebulan? Gak kerasa apa-apa itu mah. "Enggak, kedikitan!"

"Uuh, dua bulan deh ya?"

Oh, dia maunya main tawar-menawar? "Sepuluh."

Adimas mengigit bibirnya. "Lima?"

"Tujuh, kalau gak mau ya setahun."

"Oke, oke! Tujuh." Adimas mengenggam tanganku. "Setelah tujuh bulan, kita nikah."

"Ya tunangan dulu lah! Lo kebelet nikah banget sih."

"Ya mau gimana?" Adimas mendekat kemudian berbisik. "Aku udah nungguin lamaaa banget."

Gue mematung. Bangsat, suaranya kenapa seksi banget sih? Berat-berat se—

cup! WANJRIT GUE KENA COLONG LAGI? UDAH TIGA KALI LHO?

Adimas tersenyum tipis. "Kamu lucu banget soalnya, Na. Aku gak tahan."

Babi emang ini anak, BABI! "Minus 10 poin."

"Kok? Kok tiba-tiba minus 10?"

Gue mengangkat bahu. "'Kan masa percobaannya udah mulai."

"Ih, kamu gak bilang ada poin-poinan. Gak adil!"

"Terserah gue dong." Gue berjalan pergi, ogah banget deket-deket Adimas ntar kena colong lagi.

"Hotel lo di mana?" tanya gue.

"Hotel? Aku belum pesen soalnya mau sehotel sama Una."

MODUS! GUE TAU INI MODUS. Dia harusnya sadar sekarang musim hotel penuh, terus ntar jadi gak dapet terus gue terpaksa nampung dia. CIH, EMANG INI ANAK SATU. "Minus 100."

"KOK BEGITU, NA!?"

—The End

—The End

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Marsmellow Isi Cabai |✓|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang