Ep 18. I (Don't) Love You

24 7 1
                                    

BGM : Can't Breath - BTOB

••••••••••••••••••••••••

Gelap, gue gak bisa liat apa-apa. Tiba-tiba, adegan di gudang Tanjung Priok keputar secara acak. Wajah dingin Bambang, rintihan duka Ujang, senyumnya Jaehyun, dan suara keras dari pistol Adimas. Napas rasanya susah, dada gue sesak. Lama kelamaan rasanya sakit. Please, kasih tau ini cuma mimpi. Gue mau bangun

Gue menjengit waktu cahaya terang nusuk mata gue. Bau disinfektan kecium waktu gue menarik napas panjang. Rumah sakit.

"Pak, panggil suster!"

Gue menoleh, itu Ibu. Tangannya ngelus-ngelus kepala gue. Matanya sembab, pasti habis nangis.

"Una ada yang sakit? Mau diambilin apa?"

Suara itu .... Gue melirik ke sebelah kiri. Adimas di sana, matanya juga sembab dan rambutnya berantakan. Dia udah ganti baju jadi baju rumahan.

"Haus." Suara gue serak.

Ibu langsung bukain botol air terus bantuin gue minum. Gak lama kemudian, dokter jaga masuk diikutin Bapak sama ... Ayam. Rambutnya udah dicat lagi, warna hijau neon. Ck, kemaren baru aja dibotakin karena rambutnya rusak.

Dokter jaganya pergi setelah mastiin gue baik-baik aja. Sebelum itu dia ngomong kalau gue jangan dulu makan makanan padat. Habis itu, Bapak, Ibu, Adimas sama Ayam ngumpul di sekitar gue.

"Kamu kok harus banget keluar jajan malem-malem, Dek? Untung Mas Adi liat loh, jadi pelakunya bisa langsung ketangkep," kata Bapak.

Hah? Saya kok mencium bau-bau rekayasa. Gue diem-diem melirik Ayam, menuntut penjelasan.

"Itu salah saya, Tante. Seharusnya saya setuju buat nganterin Una jajan semalem." Ayam menghela napas. "Untung Pak Andre sama Adimas denger alarmnya Una."

... That was a bad story. Ngapain gue jajan jam tiga dini hari? Di depan emang ada Alfamidi yang buka 24 jam, tapi ... ngapain anjir. Syukurlah sih mereka percaya.

[ceritanya jelek]

"Ah ... so that's what happens next." Walaupun ngarangnya jelek, gue ikutan aja deh. "Semuanya terjadi cepet banget. Adek gak inget apa-apa."

[jadi itu apa yang terjadi selanjutnya]

"Aku seneng kamu gak apa-apa, Na." Adimas senyum manis.

"Makasih," gumam gue.

"Sama-sama."

Adimas is looking at me with honey dripping from his eyes and I don't know how I feel about that. Dia memang orang yang nyelametin gue—and I'm grateful for that—tapi dia juga penyebab semuanya terjadi.

[gue gak tau harus merasa kayak gimana]

[dan gue bersyukur soal itu]

Gue menoleh buat ngeliat keluarga gue di sisi lain kasur. Apakah sesuatu kayak begini bakal terjadi lagi? Apa keluarga gue bakal kena juga? If it does, I couldn't forgive myself.

[kalau iya, aku gak bisa maafin diri sendiri]

"Adek ... pulang ya?" nada suaranya Ibu lirih. "Bahaya anak gadis tinggal sendirian di luar."

Hah? Apa tadi katanya? ... Pulang? Kemana? Kenapa?

"Enggak ... gak usah. Gak apa-apa." Gue masih bingung sama pertanyaan Ibu yang tiba-tiba. "Adek gak akan jajan malem-malem lagi, Ibu tenang aja."

Ibu diem ngeliatin gue. Did I say something wrong? Isn't that what she wanted to hear? Hah? Apaan sih?

[gue salah ngomong? Bukannya itu yang mau didenger Ibu?]

Marsmellow Isi Cabai |✓|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang