"Yaudah sih kan gue udah minta maaf. kOK LO MASIH MARAH SAMA GUA?! Lebay amat."
Aku melirik sinis ke arah yeji yang malah balik memarahiku. Seharusnya aku yang marah disini karena dirinya yang telah merusak barangku.
"Kan gue gak sengaja. Kecuali nih ya, gue emang sengaja ngerusak tuh buku lo dan gue udah punya niat jahat sama lo!"
"Kan emang iya, lo udah punya niat jahat ke gua."
Yeji nampak tak percaya dengan apa yang barusan ku katakan. Namun, aku sudah tak peduli lagi dengan tindakannya. Dari awal pun, dia tak ada niat untuk minta maaf.
"IHHHH LO TUH YA! Yaudah kalo lo gak mau maafin gue, gue juga gak masalah kok kalo lo gak maafin gue. Gue gak rugi. Makasih atas balasannya, padahal gue udah beli buku baru buat lo."
Sesuatu yang keras menubruk ke atas meja dan ternyata itu adalah buku sketsa baru yang barusan ia katakan. Aku terdiam melihat buku itu disana dan yeji sudah pergi entah kemana.
Apa aku keterlaluan ya?
Aku terlalu diliputi oleh amarah sejak kemarin-kemarin karena sudah melewati 3 hari sejak hari itu dan baru hari ini ia menyadari perbuatannya. Itu sangat membuatku jengkel dan malah semakin marah kepadanya karena ia tak segera meminta maaf kepadaku.
"Bang, kamu keterlaluan lho."
Aku melirik mamaku yang datang dari arah dapur. Mungkin beliau mendengar perdebatan kami.
"Kemaren dia nanya ke mama beli buku sketsa yang paling mahal dimana."
"..."
"Bang, setidaknya adek udah minta maaf sama kamu lho. Masa gak mau maafin adek?"
Aku pun berdecak mendengar kata pembelaan dari mama.
"Yah ma, sampe Abang menikah pun pasti mama bakal belain adek." Kataku dengan cuek.
"Ya gak gitu bang, maksud mama kanㅡ"
"Iya iya, Abang tau. Nanti aja deh ma ceramahnya. Abang gak mau berdebat sama mama juga. Sampai kapanpun juga bakal si yeji yang menang, kan? Kan papa sama Mama juga begitu dari dulu."
Yah, begitulah risiko menjadi anak laki-laki. Padahal mama pun tahu kalau hobiku yang satu itu sangat aku sukai. Aku pun merawat buku itu dengan sepenuh hati dan tak pernah sedikit pun aku sembarangan menaruhnya di tempat lain.
Yeji memang anak yang sangat diperhatikan oleh kedua orang tuaku karena dia perempuan. Meskipun kami kembar, perhatian mereka terhadap kami sangatlah berbeda. Kata mereka, yeji itu sangat rentan terhadap sesuatu dan sering jatuh sakit. Dibandingkan diriku, fisik yeji jauh lebih lemah. Maka dari itu, perhatian mereka sepenuhnya terhadap yeji daripada aku.
Aku sebenarnya tak masalah awalnya, namun jika aku mengalah terus menerus, aku akan menjadi anak yang tak bisa menunjukkan ekspresiku terhadap orang tuaku. Aku pun juga harus diperhatikan.
"Abang marah juga sama mama?"
Aku menghela napas perlahan, "aku gak marah. Abang cuma cari aman aja. Yaudah ya ma, Abang langsung tidur aja. Besok kan sekolah."
Aku pun langsung naik tangga untuk menuju ke kamarku. Sebenarnya aku pun merasa tak enak hati untuk mengabaikan ceramah mama, tapi ya memang benar aku tak punya mood untuk mendengar apapun.
Aku merebahkan diri di atas kasur sambil menghela napas. Lalu, aku melamun sambil memikirkan sesuatu.
Omong-omong, aku belum pernah sama sekali meminta nomor Kim hyunjin. Aku segera membuka handphoneku untuk menanyakan perihal ID LINE atau media sosial yang bisa digunakan oleh Kim Hyunjin kepada seungmin. Tapi, jika dipikir-pikir, ada baiknya jika aku yang memintanya sendiri kepada orang yang bersangkutan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Way I Love Her
Short StoryFeat. 2hyunjin and 00line Awal kami bertemu saat itu dibawah pohon rindang yang sedang bermekar yang ada di sekolah pada awal musim semi. Aku tak menyangka senyuman di wajahnya sangat menarik perhatianku untuk berkenalan dengannya. Sampai akhirnya...