"Jangan bandingkan aku dengan dirinya, karena kita adalah insan manusia yang berbeda." Nadira Lemana
---
Abah sedang membaca buku fikih dan menumpuk buku-buku tafsir nya yang lama, entah akan ia kemanakan setelah itu. Bahkan pembantu nya yang selalu mengabdi dan merawat Narayya sampai sebesar ini juga bingung dengan sikap majikan nya itu.
Tidak berani bertanya, Bik Nahlam kembali ke belakang dan memasak, kata Abah Narayya akan pulang ke rumah membawa calon suami nya itu. Entah benar ataupun tidak, perasaan Bik Nahlam sedikit ragu.
Setelah sampai di depan pintu rumah, Narayya telah menjelaskan tata cara lelaki itu bicara di depan Abah nya sebagaimana pasangan kekasih yang benar-benar ingin meminta restu untuk menikah.
"Kamu yakin? Saya sudah punya istri..." ucap lelaki itu lirih sembari menahan Narayya agar tak membuka pintu sebelum menjawab pertanyaannya.
"Kamu gak usah ragu sama saya, saya berjanji akan membiayai perawatan rumah sakit istri kamu dan juga biaya persalinan nya." jawab Narayya meyakinkan lelaki itu.
"Sebaik ini kamu dengan saya? Apakah tidak ada lelaki lain yang harus kamu pilih selain saya, Ray?"
Narayya menghembuskan napas,
"Ayo! Kalau gak mau, saya berubah fikiran, apa kamu mau nyawa istri dan anak kamu jadi balasan keegoisan kamu? Tolong saya, saya membutuhkan kamu supaya saya bebas dari perjodohan ini!" tegas Narayya agar lelaki itu tak banyak bicara lagi.
Ceklek
Mereka berdua masuk smebaei mengucap salam. Abah mendengar salam itu lantas menjawab dan tetap diam di kursi duduk nya.
"A-abah.." panggil Narayya agak terbata. Di susul lelaki memakai pakaian yang begitu sederhana, bersarung dan berpeci.
Abah menatap Narayya sejenak, kemudian menatap lelaki yang berada di belakang Narayya, begitu sopan sekali lelaki ini, bahkan lelaki itu tersenyum sembari menundukkan kepala.
"Siapa dia?" tanya Abah kepada Narayya.
Narayya menjawab sambil mempersilahkan lelaki itu ikut duduk di sebelah nya, walau berjarak dengan alasan mereka belum halal.
"Ini..."
"Biar saya yang jawab." Potong lelaki itu sebelum Narayya melanjutkan.
Oke, sesuai dengan skenario.
Lelaki itu menatap Abah dengan sikap tegap tegas dan tersenyum. "Saya Akram Ali Ammer, umur saya duapuluh lima tahun, saya anak pertama dari dua saudara, lulusan pondok pesantren Al-Iman Makasar, saya berasal dari Makassar dan tidak sengaja bertemu dengan ciptaan Allah yaitu putri Abah ketika saya berada di masjid. Hati saya tergerak untuk mengaggumi Narayya karena akhlak nya. Saya merasa bahagia jika memandang wajah nya. Jika Abah berkenan, apakah boleh, untuk saya---"
"Kerja kamu?"
Deg!
"Kamu kerja apa sampai bersikukuh untuk mendekati putri saya?" balik tanya Abah membuat Akram sedikit bingung.
Narayya menginjak sepatu Akram sambil membatin, "jawab nya jangan gitu... kamu mau buat saya kena sidang lagi sama Abah, ha?"
Akram nampak menahan kesakitan. Abah curiga, Abah melirik ke sepatu Akram dan dengan cepat alhamdulilah Narayya sudah menyingkirkan kaki nya.
"Ada apa? Kenapa kamu gugup? Kamu serius tidak dengan putri saya? Putri saya ini satu-satunya anak perempuan saya setelah dua kakak nya pergi meninggalkan saya bersama ibunya." lanjut sang Abah dengan tatapan datar.
KAMU SEDANG MEMBACA
KU TEKADKAN UNTUK BERHIJRAH
JugendliteraturDILARANG PLAGIAT! ❌ "Gak ada baper-baperan sebelum menikah." "Cara Islam mempertemukan kita itu indah ya mas." "Cinta yang berlandaskan iman, mau kamu se-buruk apa pun dimata Umi, kamu tetap bidadari yang gak kalah jauh sama Nadira." ...