willow

181 23 5
                                    

Bagi Hyunjin, senja selalu saja menjadi sesuatu yang indah untuk dilukis

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bagi Hyunjin, senja selalu saja menjadi sesuatu yang indah untuk dilukis. Matahari yang seakan membaur cantik pada lautan. Perpaduan jingga dengan biru langit yang selalu beradu di palet warnanya. Dia tidak bisa menghitung berapa goresan dan waktu yang sudah dia habiskan. Mungkin sama banyaknya dengan banyak dedaunan yang jatuh di dataran Hamshire, saat musim gugur.

Hyunjin tidak bisa mengintip senja hari ini, itulah kenapa pohon willow besar dekat rumahnya menjadi model untuk si kanvas kali ini. Cat hijau menjadi pemeran utama, dengan goresan lain di bawah pohon yang bisa ditebak sebagai gambar siluet manusia. Ditambahkannya sedikit warna putih untuk aksen pencahayaan. Tinggal menunggu goresan terakhir mengering, disertai derap langkah sang siluet yang menghampirinya.

"Pulang sekarang?" tanya siluet itu. Jisung, sosok yang Hyunjin lukis di bawah pohon willow dengan gitar coklat kesayangannya.

"Kau duluan saja," jawab Hyunjin, "aku harus membereskan ini."

"Aku bisa menunggumu."

"Rumah kita bahkan tidak searah, Jisung."

"Aku bisa mengantarmu."

"Pu-lang-lah!" Hyunjin mendorong pelan Jisung yang masih tidak bergeming. Punggungnya sudah bertengger tas berisi gitar dengan tangannya yang sudah siap menampung cat air milik Hyunjin. Tapi apa daya, Hyunjin tidak membutuhkan bantuannya. Seperti biasa....

"Terlalu mandiri," guman Jisung yang hanya mendapat lirikan bercampur seringaian dari Hyunjin yang sudah memasukan semua barangnya ke dalam tas, kecuali kanvas bergambarnya.

Sosok yang sedari tadi kebal diusir pada akhirnya malah meraih salah satu tangan Hyunjin. Lalu merebut pelan kanvas Hyunjin dengan sebelah tangannya. Wajah Jisung mendekat pada wajah Hyunjin hingga hidung mereka bersentuhan. Menyengat seperti aliran listrik yang membuat pipi Hyunjin panas.

Mata Hyunjin ke sana ke mari mencari pengalihan objek. Atau jika tidak, jantungnya bisa meledak dan berserakan seperti daun oak kering di musim gugur. Jisung tersenyum, mencubit pelan pipi Hyunjin sebelum menjauhkan wajahnya dari wajah Hyunjin. Yang saat ini hanya terdiam saat Jisung menariknya untuk berjalan pulang.

Tidak ada percakapan di sana. Hanya tautan tangan yang erat dan usapan halus dari jemari Jisung pada punggung tangan Hyunjin. Mereka memang biasa menyusuri sungai di daerah taman. Di mana pohon willow tumbuh kuat dan menjulang.

Dan pada akhirnya Hyunjin akan kalah pada ajakan Jisung untuk pulang bersama saat kenyataannya rumah mereka tak searah. Hyunjin tidak ingin merepotkan Jisung, dan baginya hal seperti ini terlalu berlebihan walau klasik. Tapi dia suka tangan Jisung yang memegang tangannya, dia suka berjalan bersamanya. Dan jika hangatnya genggaman tangan jisung adalah nikotin, Hyunjin sudah menjadi pecandu.

"Hyunjin...," ucap Jisung memecah keheningan, "Kau seperti pohon willow."

Hyunjin menoleh ke arah Jisung yang masih menatap lurus jalanan dengan senyuman adalannya. Hyunjin tidak pernah asing dengan ini. Karna Jisung dan perumpamaan adalah hal yang tidak bisa dipisahkan bersama dengan gitar yang membuat perpaduan itu menjadi lagu.

"Biar aku tebak," seru Hyunjin sambil terlihat berpikir. Hyunjin menjadi terlalu terbiasa dengan sebuah perumpamaan, "Aku kuat, aku pohon yang punya akar kuat di bawah tanah."
Jisung mengangguk saat tebakan Hyunjin benar.

"Kalau kau... kau seperti angin." Jisung satu alisnya. Seakan meminta Hyunjin untuk melanjutkan kata-katanya. Tangan mereka masih bertautan, dengan Hyunjin yang tersenyum. Kemudian menggigit bibir bawahnya untuk menahan rasa salah tingkahnya sendiri.

"Kau itu...," ucap Hyunjin, "seberapa pun kuatnya pohon willow, daun-daunnya akan terlihat porak poranda saat tertiup angin."

Jisung tidak kuasa untuk menahan tawa. Tawa bahagia? Tawa untuk menyembunyikan salah tingkah? Entahlah, yang jelas ucapan malu-malu itu membuat Jisung menggoda Hyunjin habis-habisan. Sore itu, tawa keduanya memecah atmosfer pedesaan hijau bersama dengan semilir angin yang mengajak rambut mereka menari.

"Tapi Hyunjin." Jisung berujar tiba-tiba, mengecup punggung tangan Hyunjin singkat, "kamu tahu 'kan? Betapa cantiknya pohon willow saat angin berhembus ke arahnya?"

Hanya senyuman lebar yang Jisung dapat. Karna memang hanya angin yang tahu betapa indahnya pohon willow yang kokoh di bawah tanah, namun tak terkendali saat diterpa angin.



***

Fin.









siapa pun kalian yang mampir. halo, saya kangen.

MagellanicTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang