"Pergi!"
Ruangan malah menjadi jauh lebih sunyi kala suara berat bernada rendah itu terdengar. Namun pelakunya bahkan tak peduli kendati si lawan bicara nampak sekali ingin menjelaskan banyak hal. Dari wajahnya yang memerah dengan jemari yang terkepal kuat, pemuda itu pasti marah besar. Mungkin juga sedang menahan diri untuk tidak melakukan kekerasan karena terlalu kesal.
"Nak—"
"Berhenti memanggilku dengan sebutan itu." Junghyun segera memotong bahkan sebelum ia yakin apa yang akan dikatakan oleh si wanita. Setelah semua yang terjadi, siapa yang akan menerima penjelasan? Junghyun tidak sebaik itu untuk memaafkan seseorang yang bahkan tak menoleh sedikitpun saat ia menangis dan memintanya tetap tinggal. "Kami hidup dengan baik setelah kalian pergi. Untuk apa kembali lagi? Kalian ingin menghancurkan kami lagi? Begitu?"
"Bukan begitu."
"Apanya yang bukan begitu?" Junghyun mendadak kalap. Ia bahkan kelepasan berteriak meski tahu itu akan mengganggu pasien lain. Junghyun telah bersumpah tidak akan menerima kedua orang itu di hidupnya. Pun telah berjanji akan menjauhkan mereka dari adiknya. Junghyun telah berusaha keras untuk menghapus mereka dari ingatan. Dia tidak pernah ingin menangis lagi setiap ingat bahwa kedua orang yang telah membawanya ke dunia ini malah pergi begitu saja.
Meski tak memperlihatkannya, Junghyun benar-benar bekerja keras untuk menata hidup bersama sang adik. Dia tidak peduli pada kenyataan bahwa dirinya masih terlalu muda untuk bekerja dan menanggung kehidupan mereka berdua. Kenyataan bahwa ialah yang membesarkan sang adik bukan bualan semata.
Lantas setelah semua yang dilaluinya, kedua orang itu malah datang kembali tanpa rasa malu. Menemui adiknya yang sedang berada pada titik paling lemah. Menghancurkannya sekali lagi seolah semua itu bukan masalah. Jika bisa, Junghyun ingin mengutuk siapapun sekarang juga. Tapi itupun juga tidak berguna.
Junghyun tidak ingin luluh oleh apapun yang mereka lakukan, tapi ternyata bagian dari dalam hatinya masih saja berdenyut sakit kala mendapati raut menyedihkan dari wanita itu. Ini tidak adil, pikirnya. Setelah semua yang mereka lakukan, kenapa malah dirinya yang merasa menjadi makhluk paling jahat di dunia?
Junghyun tidak ingat kapan terakhir kali ia melihat senyum wanita itu. Ia bahkan masih tak mengetahui alasan kedua orang itu berpisah dan membuangnya. Dulu ia hanya berpikir untuk tetap bertahan hidup bersama Jungkook. Namun setelah dipikir sekali lagi, jauh sebelum semuanya menjadi seperti ini ia memiliki keluarga yang menyenangkan. Junghyun ingat betul seberapa lebar senyum sang ayah ketika Jungkook lahir. Juga betapa semangatnya sang ibu saat ia bisa membaca untuk pertama kalinya.
Kapan semuanya mulai menjadi rumit seperti ini? Junghyun tak tahu kapan pastinya. Bahkan ditinggalkan seperti ini saja masih terasa seperti mimpi. Dan jujur, Junghyun masih berharap dirinya akan terbangun suatu hari nanti untuk mendapati bahwa semuanya tetap baik-baik saja. Tapi kenyataan selalu tak sependapat dengan dirinya. Pada akhirnya ia harus mengakui bahwa semua itu memang sesuatu yang nyata.
Junghyun selalu menjadi orang yang paling khawatir saat Jungkook memutuskan bermacam-macam hal untuk dirinya sendiri. Kendati demikian ia akan tetap mengiyakan sembari berharap senyum canggungnya akan terlihat tetap natural. Banyak hal yang ia khawatirkan karena baginya Jungkook akan tetap menjadi tanggung jawabnya meski Junghyun tahu anak itu telah dewasa. Ralat—hampir. Dan meski tak ingin mengakuinya, Junghyun berharap bisa menyaksikan bagaimana adiknya tumbuh dewasa.
Saat Jungkook debut bersama BTS, mulai bersinar dengan cahayanya sendiri, Junghyun pikir ia bisa mulai melepaskannya. Membiarkan anak itu terbang lebih jauh, sejauh yang dia inginkan. Bahkan Junghyun tak pernah tahu kapan mimpi buruk ini dimulai..yang jelas semuanya masih belum dan entah kapan akan berakhir.
Tersenyum kecut, matanya yang memerah memandang pintu ruangan yang masih tertutup sejak ia pertama datang. Jungkook, entah apa yang terjadi pada adiknya itu hingga ia bahkan tak diizinkan masuk selama paramedis bekerja.
Selama ini Junghyun berusaha keras untuk menjaga Jungkook, bahkan lebih dari dirinya sendiri. Tapi melihat kondisinya sekarang, Junghyun mulai sadar jika ia kurang memperhatikan anak itu. Jika ia diizinkan kembali ke masa lalu, apa yang harus dilakukan untuk mengubah semuanya? Atau ia harus memohon kepada Tuhan untuk mengubah takdir bagian mana? Apakah Junghyun harus mengawasi sang adik setiap waktu? Atau seharusnya ia katakan tidak saat Jungkook berkata ingin menjadi idol? Ah, rasanya itu juga percuma. Junghyun bahkan tidak tahu kapan sel jahat itu bersarang di tubuh adiknya.
"Jungkook drop lagi karena kalian. Memangnya kalian siapa? Aku selama ini berusaha menjaganya, tapi kalian semudah itu menyakiti dia. Seharusnya kalian pergi saja selamanya." Junghyun menghela panjang. Berusaha mengontrol suaranya meski ia ingin meledak sekarang juga. "Jika kalian ingin pergi, pergilah dengan benar. Jangan ganggu kami lagi."
Persetan dengan sebutan anak durhaka atau apapun itu. Toh kedua orang yang seharusnya ia panggil ayah dan ibu itu mungkin tak pernah menganggapnya sebagai anak. Maka Junghyun tak perlu takut Tuhan akan mengutuknya, kan? Ah, sial! Mengingat semua yang telah terjadi, mungkin Tuhan memang telah mengutuknya jauh sebelum hari ini. Hidup yang mengenaskan seperti ini, Junghyun mulai berpikir bahwa dia mungkin penjahat yang menghancurkan sebuah negara di kehidupan sebelumnya.
"Dengarkan ibu..." Wanita itu menjeda, membiarkan putra sulungnya itu mendengus dengan sorot yang sama sekali tak ramah. "Kami bersalah karena meninggalkan kalian. Dan kami menyesali itu. Tapi saat itu kami tidak memiliki pilihan lain."
"Kenapa baru menyesal sekarang?"
"Adikmu sakit—"
"Lalu apa?!" Junghyun gagal menahan emosi. Persetan dengan ketenangan rumah sakit atau apapun itu. Setan dalam dirinya mengatakan bahwa semuanya tidak akan pernah selesai jika ia terus bersikap lembek seperti ini. "Apa yang ibu pikirkan sebenarnya? Karena Jungkook telah menghasilkan milyaran won sebelum sakit? Karena ibu pikir kalian bisa mendapatkan semuanya jika adikku—" Sial! Junghyun bahkan tidak sanggup mengucapkan kata itu. Dia tidak ingin—takkan pernah ingin kata itu terucap untuk adiknya, apalagi menjadi kenyataan.
"Junghyun!"
"Apa?! Itu kan yang selalu ibu harapkan?" Junghyun menjeda, mengalihkan pandangan kala merasakan genangan di pelupuk matanya. "Jika kalian datang hanya untuk menyakiti adikku lagi, tolong pergi saja. Dia sudah cukup menderita selama ini."
Benar, seharusnya sudah cukup, kan?
"Aku bahkan tidak memohon saat kalian meninggalkan kami. Setidaknya sekali ini saja, kumohon jangan ganggu kami lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Melody : Euphoria [END]
Random[방탄소년단 x 전정국] Banyak hal yang tidak bisa diungkapkan lewat kata-kata. Tapi menurut Jungkook, kata-kata adalah media terbaik untuk mengungkapkan perasaan. Melodi terakhirnya, perasaannya, sisa-sisa euphoria-nya mengantarkan ia kepada sebuah spektrum...