Bagian 26

780 75 1
                                    

"Ah, begitu ya?"

Jungkook memilih untuk tak menanggapi. Ia masih tak bosan mengikuti gerakan Namjoon yang sedang tersenyum sembari memandang air yang memantulkan cahaya rembulan di hadapannya. Jungkook tak habis pikir kenapa laki-laki yang lebih tua bisa menampakkan ekspresi seperti itu di saat ia begitu khawatir dan gugup bukan main menanti apa yang akan disuarakan.

Setelah sadar bahwa kalimat-kalimat yang ia baca di notifikasi ponsel itu ditujukan untuk sang leader, Jungkook tak bisa berhenti memikirkannya. Karena itu Namjoon memilih untuk tidak mengikuti rombongan dengan dalih ingin mencari buku referensi untuk bahan ujian bersama si maknae. Satu hal yang sangat Jungkook sukai dari laki-laki itu. Alih-alih menghindar, Namjoon selalu menghadapi masalahnya dengan hati dan pikiran terbuka.

Maka di sinilah mereka sekarang, duduk di pinggir Sungai Han sembari memandang jejak cahaya di langit dan suara aliran tenang yang khas. Jungkook benar-benar lupa tentang Junghyun yang telah menunggunya di rumah. Terlebih karena ponsel yang ia letakan di tas tak mengganggu sama sekali—entah memang kakaknya sudah lelah meminta kabar atau ponselnya yang sekarat. Yang jelas untuk sekarang ini ia hanya sedang memikirkan berbagai pertanyaan ruwet yang begitu sulit untuk diurai.

"Ibuku ingin aku fokus belajar untuk ujian masuk perguruan tinggi, tapi aku benar-benar tidak bisa meninggalkan kalian." Namjoon menghela nafas singkat, menjeda sejenak sembari menjatuhkan tubuhnya hingga terlentang di atas rerumputan yang tak terlalu tinggi. Tersenyum kecil sembari memandangi titik-titik bercahaya di langit.

Jungkook mengerti kenapa Namjoon memutuskan untuk tetap bersama Bangtan. Mereka membutuhkan laki-laki itu untuk tetap berdiri sebagai leader. Posisi yang sangat penting dan tak bisa sembarangan dialihkan. Selain itu ia sudah berada di dalam kelompok ini sejak awal. Melepaskan semuanya—terlebih saat ia benar-benar menikmati dan mengerahkan banyak hal untuk itu—jelas bukan hal yang mudah.

Meski tak bisa dibilang benar-benar saling mengenal, tapi Jungkook tahu bahwa Namjoon sangat menyukai musik. Ia bekerja keras untuk kelangsungan kelompok kecil mereka. Entah setelah ini mereka akan tetap sama atau tidak, tapi Jungkook benar-benar berharap laki-laki itu tidak kehilangan hal yang begitu berharga baginya.

Lagi pula Jungkook benar-benar mengetahui seberapa keras Namjoon belajar meski dengan berbagai kesibukan lain. Dengan semua kegiatannya saat ini saja Namjoon tetap bisa mempertahankan status sebagai si juara paralel yang namanya selalu tercetak di mading setiap semester. Laki-laki itu benar-benar jenius yang bekerja keras.

Jujur saja dari semua orang yang pernah ia temui, Namjoon adalah salah satu yang paling positif. Dia selalu terlihat baik di sekolah, terlalu baik hingga Jungkook tak pernah berpikir bahwa ia malah dikekang oleh ibunya sendiri. Dia itu tipe yang mampu berpikir lebih baik dari orang lain, memiliki kecenderungan bertindak dengan lebih hati-hati—meski sebenarnya dia agak ceroboh untuk beberapa hal—dan pemimpin dengan keputusan yang bisa segera diterima oleh semua orang. Jungkook tidak berpikir bahwa tipe demokrasi seperti Namjoon dibesarkan oleh keluarga yang otoriter.

Jika diingat-ingat Jungkook sempat berpikir apakah ia melewatkan banyak hal terkait teman-temannya setelah mengetahui fakta yang disembunyikan Jimin. Apa ada orang lain yang mengalami hal serupa? Tapi meskipun begitu ia tidak benar-benar ingin mendengar ada satu orang lagi yang dikendalikan tanpa menerima kebebasan.

"Apa yang hyung lakukan setelah ini?" tanyanya dengan ragu. Bagaimanapun ia berusaha menepis pemikiran tak masuk akal, bayangan Namjoon yang dipaksa belajar jauh lebih keras setelah menjalani hari melelahkan begini terus mengusiknya.

"Kau khawatir, ya?" Namjoon menoleh, balas menatap Jungkook yang tetap dalam posisi duduk. "Aku harus belajar lebih keras dari orang lain. Tapi kau lihat aku selalu baik-baik saja selama ini. Jadi jangan memasang wajah begitu," lanjutnya dengan senyum khas yang selalu terlihat menenangkan.

Sejenak keduanya bungkam. Jungkook memilih untuk tak memberi respon, membiarkan keheningan menguasai atmosfer sejenak. Sembari mengeratkan coat tebal yang membungkus tubuhnya, Jungkook ikut mendongak untuk menatap jutaan bintang di atas sana. Terkadang ia penasaran apa yang sedang dilihat oleh orang lain. Dan mungkin ikut memperhatikan semuanya akan membuat ia memahami sedikit mengenai perasaan mereka.

Hampir setahun. Jungkook sudah bersama dengan orang-orang ini selama hampir setahun. Mereka selalu baik dan membantunya kapanpun ia membutuhkan bantuan. Awalnya Jungkook pikir mereka terlalu baik untuk ukuran orang-orang yang baru saling mengenal. Setelah menghabiskan banyak waktu bersama mereka, Jungkook sadar bahwa mereka jauh lebih baik dari yang sempat ia pikirkan.

Sayangnya kalimat yang sering ia dengar benar, Tuhan selalu memberikan ujian kepada orang-orang baik. Memastikan apakah mereka akan tetap seperti itu ketika dunia mengkhianati atau lebih memilih untuk balas mengkhianati. Lantas setelah mengetahui apa-apa saja yang terjadi pada Jimin dan Namjoon, Jungkook tidak yakin jika empat orang lainnya benar-benar tidak memiliki masalah semacam itu juga.

"Aku sangat senang saat mendapat undangan sebagai performer di acara KBS. Setidaknya jika kita melakukannya dengan baik, aku bisa berharap ibu akan membiarkanku tetap bersama kalian." Namjoon kembali bersuara, mengakhiri kesunyian yang tercipta selama beberapa menit yang lalu.

Mengingat Namjoon adalah salah satu orang yang membangun kelompok ini—termasuk kecintaannya terhadap musik—Jungkook bisa mengerti kenapa dia seenggan itu untuk mengiyakan perintah sang ibu. Jika itu Jungkook, dia mungkin juga akan menentang habis-habisan. "Hyung sudah melakukan yang terbaik hingga saat ini. Kuharap semuanya berjalan dengan baik—" Suara Jungkook memelan di akhir. Tangannya bergerak perlahan, mencengkeram kepalanya yang tiba-tiba berdenyut luar biasa menyakitkan hingga tanpa sadar ia mengerang lirih.

Agaknya Namjoon menyadari apa yang terjadi dengan cepat. Jadi tepat setelah mendengar erangan lirih Jungkook, ia buru-buru bangkit dan memeriksa apa yang terjadi. "Wae? Gwenchana?" tanyanya khawatir. Demi Tuhan dia tidak pernah berharap akan berada di dalam situasi semacam ini.

"Kepalaku ... sakit sekali."

Sial! Namjoon menoleh dengan cepat, mencoba mencari sesuatu yang bisa membantu sembari memeriksa jam dari ponselnya. Dalam hati merutuki diri sendiri karena masih berani mengajak Jungkook duduk di sini dalam waktu yang cukup lama saat tahu anak itu sudah terlihat tidak dalam keadaan yang baik sejak awal. Pokoknya mereka harus pergi sekarang. Seharusnya masih ada bus, kan?

"Kita pulang, ya?" Namjoon segera bangkit, membantu Jungkook berdiri lantas memapahnya ke halte bus terdekat. Semoga saja masih ada bus terakhir karena tidak mungkin Namjoon membawa Jungkook berjalan di luar dengan jarak sejauh itu dalam kondisi sekarang. Tapi sepertinya harapannya itu harus pupus kala ia memeriksa jadwal operasional bus yang tertera di halte, mengartikan bahwa mereka terlambat lima belas menit.

Saat Namjoon sudah bersiap memesan taksi online, tiba-tiba ponselnya menampilkan telepon masuk dari nomor tak dikenal. Namun karena ia pikir ini bukan waktu yang tepat untuk meladeni orang semacam itu, ia segera menolak panggilan itu dan berusaha mencari taksi yang bisa datang mengantar mereka. Sayangnya sebelum ia sempat melakukan itu, ponselnya bergetar lagi dan Namjoon dapat melihat kalimat-kalimat pesan yang masuk dari jendela notifikasi.

Namjoon? Ini Junghyun. Jungkook bersamamu? Bisa tolong katakan kalian di mana? Aku akan ke sana sekarang.

Dan saat itu Namjoon benar-benar bersyukur kepada Tuhan manapun yang mendengarnya.

Secret Melody : Euphoria [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang