"Sorry, bisa geseran nggak? Gue mau duduk,"
"Kursi ini ada yang punya, lo cari tempat lain aja."
Evelyn yang tengah menempati salah satu meja kantin memperhatikan Desti dengan rasa kasihan. Sejak selesai membeli makanan, Desti mencari tempat duduk tapi tak ada satupun dari teman-teman mereka yang mau berbagi dengannya. Sebenarnya Evelyn cukup terkejut mendapati adanya Desti di kantin tanpa Kevin bersamanya, seingatnya sejak menjalin hubungan hampir setiap hari mereka kemana-mana bersama--mengumbar kemesraan di hadapannya.
"Tapi gue nggak lihat ada orang lain disini selain kalian!" Desti mulai kesal. Nada bicaranya sudah naik beberapa oktav.
"Memang, tapi maaf kita nggak mau satu meja sama si tukang tikung kayak lo." Salah satu dari mahasiswi itu menjawab ketus. Sedang yang lainnya menertawakan.
"Jaga ucapan lo ya!" Desti membanting mangkuk baso yang di bawanya ke hadapan mereka. Dan dia sudah akan menerjang salah satu di antara mahasiswi itu, tapi di waktu bersamaan tangannya di cegah oleh Evelyn yang kini sudah berada disebelahnya.
"Sudah Des, ayo duduk bareng aku sama Silvy aja. Meja kami masih ada tempat kosong kok." Evelyn tersenyum lembut, seolah pertemanan mereka baik-baik saja.
"Eve, kok lo masih mau sih temenan sama dia?" sungut salah satu mahasiswi itu, menatap Evelyn dengan tidak percaya.
"Iya ngapain sih lo Eve?" timpal teman lainnya.
Evelyn sudah akan menjawab ketika tawa Desti membahana.
"Hebat! Evelyn kita memang paling pandai beracting." Desti bertepuk tangan. Nada bicaranya yang keras membuat semua pengunjung kantin kini memperhatikan mereka. "Selalu, lo yang jadi peri baik sedang gue ... hanya pemain piguran yang selalu di pandang sebelah mata. Dan kini gue bahkan di cap buruk oleh semua orang tanpa mereka tahu kejadian yang sebenarnya."
"Apaan sih lo ngomong kayak gitu?" Silvy yang baru saja datang dari memesan minuman seketika mendorong Desti dan langsung menarik Evelyn di saat berikutnya. "Ayo Eve, kita kembali ke tempat. Lo ngapain sih masih peduliin dia aja?"
Tarikan Silvy yang lumayan keras membuat Evelyn tak kuasa melawan. Sedang di belakang mereka, wajah Desti sudah merah padam-layaknya menahan gebuan amarah berskala besar.
"Kalian mau tahu, apa yang membuat Kevin akhirnya berpaling ke gue?" Sementara kedua tangannya terkepal, tatapan Desti hanya tertuju pada punggung Evelyn.
"Dia ... Evelyn, mahasiswi kebanggaan kampus dan juga teman kesayangan kalian ... tidaklah sebaik yang kalian kira selama ini. Dia telah mengkhianati Kevin dan menyelingkuhinya dengan pria lain."
Ucapan Desti membuat langkah Evelyn dan Silvy terhenti. Tubuh Evelyn gemetaran mengkhawatirkan kelanjutan ucapan Desti. Sedetik kemudian ia berbalik, menatap kecewa wajah Desti. Bagaimana ia bisa mengatakan semua tuduhan itu padahal Desti tahu kejadian sebenarnya.
"Kenapa? Takut, mereka akan mengetahui kebenarannya?" Desti mencemooh.
"Bisa diem nggak lo?" Sivly berjalan menuju Desti sambil menunjuk wajah Desti dengan telunjuknya.
Desti tidak gentar, ia menampik telunjuk Silvy yang berada di depan wajahnya. "Mau sampai kapan kalian akan menutupi hal itu dari semua orang, hmm? Biar apa sih, biar gue sama Kevin yang terus di salahin sama semua orang?" Sambil melipat lengan, Desti menatap Evelyn dengan jijik. "Lo berdua nggak mikir, itu perut mau di sembunyiin kayak apa juga lama-lama akan kelihatan!"
Seketika suara bisik-bisik yang cukup keras menyelubungi tempat itu, bahkan beberapa mahasiswa yang baru datang pun merasa tertarik untuk ikut mendengarkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Marriage With You
Romance21+ Evelyn hanya terjebak dalam kisah yang salah. Maka itu ia menyadari, dirinya tidak boleh jatuh cinta kepada pria yang kini berstatus sebagai suaminya, mengingat pernikahan mereka terjadi lantaran anak yang ada di dalam kandungannya. Tapi sialnya...