Suara dentuman musik di sekitarnya membuat Evelyn harus menepi untuk mengangkat panggilan.
"Iya Kev?" Sembari menempelkan benda pipih itu, tatapan Evelyn terarah ke tempat teman-temannya yang tengah berpesta.
"Kamu udah sampe?" tanya pria dari dalam sambungan.
"Apa?" Suara musik membuat pendengaran Evelyn terganggu.
"Oh udah sampe ya? Kok nggak ngabarin aku?" Pria di dalam sambungan itu terdengar kesal.
"Baru aja sampe, kamu udah keburu telepon duluan," sahut Evelyn sambil mengembuskan napasnya.
"Jangan lama-lama pulangnya ya, aku takut kamu napa-napa disana," gumam pria itu, entah untuk keberapa kalinya di hari ini.
"Iya Kev, paling setengah jam lagi juga aku pulang," sahut Evelyn pada Kevin--kekasihnya.
"Lama banget setengah jam?"
Evelyn menghela nafas sembari menyugar rambutnya. "Ya terus? Masa baru dateng udah langsung pulang lagi. Kan nggak enak sama Desti."
"Lagian ngapain sih dia, ngadain ultah di tempat kayak gitu. Kayak nggak ada rumah aja yang bisa dia pakai untuk tempat pesta." Kevin masih tak habis pikir pada keputusan Desti yang menurutnya dapat membahayakan kekasih tercintanya, mengingat hari ini dirinya tak ada disana untuk menemani Evelyn.
"Suka-suka dia dong, orang dia yang ultah kok. Lagian suruh siapa kamu sibuk banget?" balas Evelyn dengan asal.
Kevin menarik nafas berat. "Kamu tahu sendiri sejak Papa nggak ada, perusahaan semuanya Om Raga yang urus, kalo aku nggak bantu-bantu lama-lama nggak enak sama Om Raga."
Evelyn tertegun, ia sebenarnya tidak benar-benar kesal kepada Kevin sekalipun akhir-akhir ini kekasihnya itu sangat sibuk dengan pekerjaannya. Ia hanya kesal lantaran pria itu selalu berlebihan dalam mengkhawatirkannya.
"Iya aku ngerti, lagian aku senang kok kamu bertanggung jawab dengan apa yang kamu miliki. Aku harap kelak kamu juga bisa sesukses seperti mendiang Papa kamu dan juga Om Raga."
Di seberang telepon Kevin mengulum senyum. "Aamiin, makasih atas pengertiannya ya Sayang. Kalo deket aja udah aku cium."
Evelyn terkikik. "Dasar kamu. Ya udah, aku tutup dulu teleponnya ya. Aku mau pamitan pulang dulu sama Desty, biar pacar aku nggak ngomel-ngomel terus."
"Siapa sih pacarnya? Pasti keren ya orangnya?" kelakar Kevin dengan nada geli.
Evelyn berdecak. "Kalau ngerasa keren harusnya kepercayaan dirinya lebih tinggi. Mana mungkin curigaan terus sama pacarnya disini."
"Aku bukannya curiga sama kamu Yang. Aku cuma takut kamu kenapa-napa disana, lagipula ini pertama kalinya kamu pergi ke tempat seperti itu dan tanpa aku pula. Tempat itu sangat berbahaya untuk wanita seperti kamu," tegas Kevin.
Evelyn terkikik. "Iya Kev, aku hanya becanda. Aku janji, setelah mengucapkan selamat dan memberi kado untuk Desti, aku akan langsung pulang ke rumah secepatnya."
"Benar ya?"
"Iya, kamu kok nggak percayaan sih sama aku."
"Iya-iya maaf. Ya udah sana buruan pamitan pulang, terus jangan lupa kabarin aku lagi."
"Ini mau pamitan, tapi kamu ngajakin ngobrol terus dari tadi."
Kevin tergelak. "Oke, bye Sayang."
"Bye Sayang." Evelyn lalu segera menutup sambungannya.
Ia menarik nafasnya sejenak sebelum melangkah menuju Desty dan yang lainnya. Beberapa pria dewasa menyapanya dengan genit, tapi Evelyn mengabaikannya. Meski malam ini ia memakai pakaian yang cukup sopan sesuai anjuran Kevin, tetap saja Evelyn merasa tidak nyaman dengan cara pria-pria itu menatapnya. Oh ya ampun, Ia semakin bertekad untuk secepatnya pergi dari tempat itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Marriage With You
Romance21+ Evelyn hanya terjebak dalam kisah yang salah. Maka itu ia menyadari, dirinya tidak boleh jatuh cinta kepada pria yang kini berstatus sebagai suaminya, mengingat pernikahan mereka terjadi lantaran anak yang ada di dalam kandungannya. Tapi sialnya...