11. Rieuthuk

502 35 0
                                    

"Dik, nanti malam makan di luar, yuk?" ajak Sakti pada istrinya yang sedang sibuk membaca novel di atas ranjang.

Rida yang diajak bicara Sakti pun menutup novelnya dan fokus pada sang suami yang sedang mengutak-atik berkas di sebelahnya.
"Boleh. Udah lama juga kita gak makan di luar, Mas."

Hari ini Sakti tidak memiliki jadwal penting di kantor, sehingga ia bisa pulang cepat dan bertemu anak istrinya. Pria dewasa ini memang tidak bisa jauh-jauh dari istri dan anaknya. Ia akan selalu merindukan mereka setiap detiknya. Maka jangan heran kalau Sakti mendapatkan julukan si tua bucin oleh teman-temannya.

Namun, Sakti tidak masalah dengan julukan itu karena ia bucin pada wanita yang sudah halal untuknya.

"Kamu mau lanjut kuliah, nggak, Dik?" tanya Sakti tiba-tiba. Pria itu ingat kalau istrinya ini satu bulan lagi akan melaksanakan acara perpisahan.

Rida nampak diam mendengar pertanyaan suaminya. Ia juga belum memiliki gambaran mengenai masa depannya. Jika ditanya apakah ia ingin melanjutkan pendidikannya, tentu Rida akan menjawab iya. Namun, Rida sadar akan posisinya saat ini, ia sudah menjadi seorang istri dan ibu. Dia tidak bisa seenaknya memutuskan keinginannya tanpa izin suami.

"Hei, Dik?" panggilan Sakti menyadarkan Rida yang malah melamun. Suaminya itu ternyata sudah selesai dengan kegiatannya.

"Em, Rida ikut Mas aja, deh gimana baiknya."

Dahi Sakti mengerut mendengar jawaban istrinya. "Loh, kok ikut Mas. Kan Adik yang mau menjalani. Mas cuma bisa kasih saran dan biaya aja," jelas Sakti penuh pengertian.

Rida tersenyum haru mendengar penuturan suaminya. Ia pun memeluk Sakti erat. "Makasih, Mas. Nanti aku pikirkan dulu, ya. Aku juga mau tanya sama ayah dan ibu. Mas nggak keberatan, kan?"

Sakti menggeleng sebelum mengecup pucuk kepala istrinya.

"Nggak, yang penting pikirkan dengan matang keputusan yang mau diambil."

"Siap, Mas. Eh, besok di rumah Lek Sis ada acara syukuran habis panen, Rida ke sana pagi, ya?"

"Iya, besok Mas antar. Mas nyusul habis kerja, soalnya ada rapat penting sama kolega."

"Iya, Les Sis sama yang lainnya pasti paham."

Mereka berpelukan untuk menyalurkan rasa cinta mereka. Meskipun tidak ada yang mengungkapkan kalimat cinta itu, tapi tindakan mereka berdua sudah menggambarkan segalanya.

Sakti merasa beruntung memiliki istri penuh pengertian seperti Rida. Padahal usia Rida masih belia, tapi memiliki pikiran yang sangat dewasa. Rida bisa dengan mudah mengimbangi dirinya yang sering memiliki cara pandang yang berbeda.

"Umma!" teriakan dari luar kamar menginterupsi acara pelukan mereka.

"Iya, Bang, sebentar." Sakti membiarkan istrinya membuka pintu untuk putranya.

Begitu membuka pintu, Rida disambut dengan wajah masam putranya. "Loh, kenapa anak Umma cemberut gitu?"

Bukannya menjawab, Arga malah berjalan ke arah ranjang dan merebahkan dirinya di samping Sakti.

"Abang sedih, Umma," adu Arga lucu.

"Sedih kenapa, Bang?" Kali ini Sakti yang menimpali putranya. Bukannya putranya ini tadi berpamitan bermain ke rumah tetangga. Apa Arga habis bertengkar?

Arga menatap sengit ke arah Sakti. "Semuanya gara-gara Ayah."

"Loh, kok, Ayah, sih?" protes Sakti tidak terima. Seingatnya seharian ini ia tidak menggangu anaknya. Ini datang-datang malah menyalahkannya.

"Hei, kesayangan Umma kenapa? Coba jelaskan sama Umma," pinta Rida lembut. Tangannya aktif mengusap rambut tebal sang putra.

"Peluk, Umma," pinta Arga manja. Dengan senang hati Rida memeluk putranya.

Our WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang