4. Sakti

602 47 0
                                    


Selamat malam, selamat tahun baru!🥰🥰 Semoga tahun ini menjadi lebih baik dan aku juga bisa sering update. Hehe

Ok, happy reading

Sorry for typo 🤭

_____________

Setelah aku mengantar Rida dan Arga aku bergegas kembali ke rumah sakit. Tidak enak rasanya pada Pakde dan Bude yang dengan lapangnya membantuku untuk menjaga Winda. Beliau berdua seperti tidak ada lelahnya, padahal aku tau kalau pakde harus mengajar sedangkan bude biasanya ikut menjaga tokonya.

"Assalamualaikum," salamku sambil mencium tangan bude dan pakde.

"Wa'alaikumussalam."

"Bude sama pakde istirahat aja, biar aku yang nunggu Winda." Pintaku karena kasihan melihat beliau berdua tidur larut.

Pakde menggeleng, "nanti aja. Masih jam sembilan juga, mending kamu yang tidur, Ti. Kantong matamu bisa diisi uang itu," ujar pakde menyindir kantung mataku. Aku meringis mendengar itu, yah, memang semenjak Winda masuk rumah sakit aku susah sekali untuk memejamkan mataku.

Bagaimana aku bisa tidur nyenyak, jika istriku saja belum sadarkan diri. Aku takut kalau-kalau aku sedang tidur dan Winda bangun. Aku ingin menjadi orang pertama  yang Winda lihat ketika ia bangun nanti.

"Hehe, tak apa Pakde sekalian mau lanjutin tugas kantor."

Kudengar bude berdecak, ternyata beliau menatapku sebal. "Kamu ini Ti, masih mikirin tugas kantor. Istirahat, jangan sok kuat!" Omel bude, aku tidak marah. Justru aku terharu dengan perhatian beliau. Aku merasa memiliki orang tua lagi. Aku memang yatim piatu, ayah meninggal ketika aku masih berusia sebelas tahun. sedangkan ibu ketika aku berusia dua puluh lima tahun.

Dering ponselku menyadarkan kami bertiga dari keterdiaman kami. Aku izin untuk mengangkat telpon yang ternyata dari kakakku satu-satunya---Mbak Santi.

"Hallo, assalamualaikum, Mbak."

"Waalakumussalam, Ti. Winda di rawat di rumah sakit mana?"

"Di rumah sakit Kamilah, Mbak. Apa Mbak mau kesini?" Mbak ku ini tinggal di Kalimantan, beliau ikut suaminya yang bekerja di perkebunan sawit di sana.

"Pengennya gitu, tapi Mas mu belum ada cuti. Mbak gak mungkin ke sana sendirian."

"Gak papa, Mbak. Mbak doakan aja semoga Winda cepat bangun dan sembuh." Aku tidak berharap banyak untuk kedatangan Mbak Santi.

"Maaf ya, Ti. Kalau Mas mu ada libur, kami usahakan ke sana."

"Iya, Mbak. Nanti kalau Winda sembuh, Sakti yang ke sana aja, deh." Usulku, karena selama lima tahun kepindahan mbak ku dan keluarganya. Aku belum pernah mengunjunginya.

"Iya, dapat salam dari Mas mu, Ti."

"Wa'alaikumussalam, salam balik buat Mas Rudi."

"Iya, kalau gitu Mbak tutup, ya? Dira mau tidur ini."

"Iya, Mbak. Assalamualaikum."

"Wa'alaikumussalam."

****

Pukul lima pagi aku dikejutkan dengan berita sadarnya Winda. Betapa bahagianya hatiku, istriku siuman.

Bude dan pakde pun nampak lega dengan ini. Beliau berdua tak hentinya mengucap syukur. Dan aku pun segera mengabari mertuaku, beliau pasti sangat senang.

Sudah satu jam berlalu aku masih setia memegang tangan Winda. Aku tak melepaskannya sedetikpun.

"Mas," panggil Winda lemah.

"Apa, Bun? Ada yang sakit?" Tanyaku khawatir.

Winda menggeleng lemah, "gak. Aku kangen Arga."

Oh, aku sampai lupa dengan putraku. Dia masih bersama Rida pastinya. "Arga lagi di rumah bude sama Rida. Biar aku suruh bude telpon, ya?" Balasan Winda hanya anggukan lemah.

Dengan tidak rela aku melepaskan genggaman tanganku. Aku ingin Arga cepat bertemu bundanya. Pasti jagoan ku senang, sedari kemarin ia memanggil Rida Nda. Mungkin efek kerinduannya pada Winda.

"Bude, bisa tolong telfonkan, Rida? Winda pengen ketemu Arga," pintaku tidak enak.

"Oh iya, bentar biar bude telpon." Dengan cepat bude menelpon Rida. Untungnya tidak perlu lama-lama untuk tersambung dengan Rida.

"Udah, kamu tunggu aja. Lagi siap-siap dia," tutur bude setelah selesai menelpon.

"Terima kasih, Bude."

"Iya."

Aku pun masuk kembali ke dalam, sedangkan keluarga Winda menunggu di depan ruangan. Mereka sudah puas menyapa Winda.

"Assalamualaikum," itu pasti Rida.

"Wa'alaikumussalam," cepat-cepat aku jawab salam Rida. "Arga sini Sayang, Bunda udah bangun," ujar ku dengan wajah yang lebih bersinar. Aku mengambil alih Arga dari gendongan Rida, dan Rida memilih untuk keluar dari ruangan. Mungkin dia tidak ingin mengganggu moment keluarga kecilku.

"Rida, ja-ngan ke-luar," Winda melarang Rida untuk keluar ruangan. Entah apa yang diinginkan oleh Winda.

Rida berhenti, tapi tidak membalikkan badannya. Aku rasa ia dilanda keraguan.

"Rida, jangan keluar dulu. Ada yang mau Winda bicarakan," kali ini aku yang berbicara. Hal itu membuat Rida membalikkan badannya dan kembali ke arah kami.

Rida mendekat ke arah Winda, "gimana perasaannya Win?"

Winda tersenyum kecil, "Alhamdulillah perasaan ku lega. Aku masih bisa lihat keluarga ku."

Mendengar ucapan Winda aku jadi tersenyum haru mendapati Winda sadar dari komanya. Dan aku harap perjuangan Winda untuk sembuh segera berhasil. Aku tidak ingin ia merasakan sakit lagi.

"Alhamdulillah, cepat sembuh, ya."

Winda tersenyum lembut, "Mas, sini sebentar."

Aku mengerutkan dahi heran, tapi tetap mendekat ke arah Winda dengan Arga yang masih berada di gendonganku. Tiba-tiba saja Winda menarik tangan ku dan tangan Rida untuk di satukan. Maksudnya apa ini? Kami berdua menatap bingung ke arah Winda.

"Bunda kenapa?" Tanyaku bingung dan ingin melepaskan tanganku. Aku merasa was-was dengan perangai Winda. Tidak! Jangan sampai apa yang aku pikirkan terjadi!

Winda tersenyum, ia semakin kuat menggenggam tanganku yang melengkupi tangan Rida.. "Mas, Rida. Aku minta tolong boleh?"

Rida menoleh ke arahku, meminta persetujuan. Aku tahu Risa juga sama gelisahnya denganku. Dari raut wajah dan juga tangannya yang dingin menunjukkan semuanya.

Aku menoleh sebentar ke arahnya, kemudian kembali menatap istriku. Aku berpikir lama mengenai hal ini, dan akhirnya aku menganggukkan kepala.

Aku lihat Winda nampak puas, kini giliran Winda menatap Rida. Gadis itu sedari tadi masih diam.

Rida menggigit bibirnya tak nyaman, ia nampak ragu-ragu. Meskipun akhirnya ia menyetujui juga.

Winda bertambah puas dengan persetujuan Rida, senyumnya semakin lebar. "Jadi, bunda mau kami kenapa, Bun?" Tanyaku tak sabar. Tanganku masih di atas tangan Rida. Winda belum melepaskan tangan kami yang ia satukan.

Winda tersenyum lagi, entah kenapa dia suka sekali mengumbar senyumnya. Aku jadi membayangkan yang tidak-tidak. Oh, jangan! Aku tidak mau!

"Aku mau kalian menikah."

"Hah!"

Aku dan Rida terkejut dengan permintaan nyleneh Winda. Apa-apaan ini?! Aku tidak mau!
________

Tanah Merah, 1 Januari 2020

❣️

Rieuthuk

Our WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang