2. 𝐁𝐢𝐧𝐚𝐫 𝐧𝐢𝐬𝐤𝐚𝐥𝐚

166 79 697
                                    

|
|
|
|
|
♥︎
|
|
|
|
|
♡︎
|
|
|
|
|
♥︎
|
|
|
|
|
♡︎
|
|
|
|
|
꧁ 𝑹𝒆𝒕𝒊𝒔𝒍𝒂𝒚𝒂 ꧂





















×÷×

Kini aku berdiri, di atas bentala dengan lunglai dan putus asa. Lantas sinarnya langit jingga kian pendar seolah tengah meledeku karena asa yang hilang dalam kurun waktu kurang dari 24 jam.

Aku masih berdiri, menunggu kehadirannya.

Dengan pakaian lusuh dan peluh yang tak henti mengalir, aku masih berusaha berdiri kokoh walaupun kakiku rasanya mati rasa karena terus berdiri dalam kurun waktu yang cukup lama.

Lantas helaan napasku keluar begitu saja, terdengar lelah karena kecewa namun suara itu hanya terdengar sekejap karena terkalahkan suara wahana permainan yang begitu memekakan telinga.

"Ibu kemana?" monolog ku untuk kesekian kalinya, rasanya muak. Karena terus mengucapkannya.

Kedua tanganku yang masih setia menutup kedua mataku ini kini terasa sangat nyeri akibat pegal, lalu ku turunkan kedua tanganku yang lunglai karena kesal, lantas ku beranikan untuk membuka kedua mataku yang lelah dengan perlahan.

"Ibu ko gak balik lagi?" ucapku lagi, seakan-akan aku hanya berdiri sendiri di atas bumi ini.

Karena bertanya dan menerka-nerka jawaban sendiri.

"Dek, bentar lagi hujan sini ke pinggir dulu!"

Sontak aku membalikan badanku dan mendapati pria paruh baya yang memakai seragam pegawai wahana permainan ini, lalu salah satu tangannya terulur untuk menggandengku.

"Gak usah om, saya di sini aja," jawabku seadanya.

"Mau hujan dek, nunggu disitu aja sama bapak temenin mau? Daripada berdiri sendiri di sini."

"Saya gak sendiri, tadi dateng ke sini sama ibu."

"Ah gitu, sekarang ibunya ke mana?"

Lubang di hatiku kian membesar, pertanyaan itu seperti pertanyaan yang selalu ku tanyakan pada diriku sendiri, "ibu kemana?"

Semilir angin mulai berhembus kencang, membawa sang hujan dan udara dingin bersamaan. Lantas dengan sisa tenaga yang ada aku mulai menggeleng pelan.

"Saya juga gak tau."

Pria paruh baya itu menatapku dengan tatapan kebingungan, lalu ia mulai mengulurkan payung kecil berwarna hitam kepadaku.

"Yaudah kalo mau nunggu di sini, kalo hujannya gede payungnya pake yah? Atauga datengin bapak aja di tenda yang warna hijau itu."

Tawarannya dengan murah hati, lantas aku hanya tersenyum dan menerima payung itu dengan senang hati.

"Makasih banyak pak," lalu hujan mulai turun bergerombol, dan membuat beberapa orang di sini mulai berlarian untuk mencari tempat berteduh.

Retislaya || 𝐇𝐞𝐧𝐝𝐞𝐫𝐲 𝐖𝐚𝐲𝐕Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang