11. 𝐁𝐞𝐫𝐚𝐤𝐡𝐢𝐫

48 22 135
                                    

|
|
|
|
|
♥︎
|
|
|
|
|
♡︎
|
|
|
|
|
♥︎
|
|
|
|
|
♡︎
|
|
|
|
|
꧁ 𝑹𝒆𝒕𝒊𝒔𝒍𝒂𝒚𝒂 ꧂


×÷×

Tak ada lagi hasrat, tak ada lagi aspirasi. Hanya menyisakan angan-angan belaka tentang kehidupan yang baik-baik saja di depan sana.

Angan-angan belaka yang tak berujung membuat lelah dan enggan untuk beranjak bangkit, entahlah hanya saja tak berusaha untuk berharap lebih dan membayangkan angan-angan lainnya di depan sana.

Atma yang rentan dan diri yang rapuh seolah akan hancur kapan saja, terapung terbawa angin lalu terjatuh dan di peluk bumi dengan erat.

Kepedihan yang teramat sangat terus menggerogoti seisi hati, melahap rasa gembira, lalu kepedihan itu bergerak lagi menuju otak dan melahap semua kenangan indah yang pernah terjadi.

"Hen, udah sadar?" gumam Ayah Hendery setelah melihat anak bungsunya mulai membuka mata perlahan-lahan.

Hendery kebingungan, tiba-tiba saja ia melupakan banyak hal dan terdiam beberapa menit membiarkan otaknya kembali bekerja dan mengingat hal yang terjadi sebelumnya.

"Nak, udah mendingan?" tanya Ayah Hendery lagi, tangannya terangkat untuk mengelus surai lembut anak satu-satunya itu sekarang.

"Pak? Ini di rumah sakit yah?" tanya Hendery yang masih terlihat lemah, lalu ia kembali terdiam karena masih belum teringat apapun.

Angin tiba-tiba berhembus kencang di dalam ruangan tanpa adanya jendela itu, lalu angin menerpa wajah Hendery berkali-kali, Hendery terpaku, angin itu terasa seperti tengah mengelus surainya lembut.

"Kak Hanna...." ucapnya kemudian, lalu ia berusaha mendudukan dirinya di bantu sang Ayah, dadanya tiba-tiba bergemuruh hebat ketika sedikit demi sedikit ingatan akan Hanna kembali memenuhi seisi kepalanya.

"Kak Hanna mana? Dia gak kenapa-napa kan?" tanya Hendery menggebu-gebu sembari menatap dalam manik Ayahnya.

Ayah Hendery tak mampu mengungkapkan sepatah katapun, mulutnya kelu, lalu yang ia lakukan hanyalah balas menatap manik Hendery dengan pandangan yang sulit di artikan.

Hendery tak sebodoh itu, firasatnya mengatakan akan ada hal buruk yang akan datang.

Badai yang akan datang membawa segala kepedihan dan rasa sedih.

"Gak, aku harus nemuin Kak Hanna!" setelah mengucapkan itu Hendery pun menepis lengan Ayahnya dan berjalan keluar dengan sempoyongan berniat mencari Hanna.

Ayah Hendery menghela napas berat, lalu ia berlari menyusul Hendery dan mencegah langkahnya. "Tunggu dulu, Bapak gak akan tutupin semuanya, karena gimanapun juga kamu harus tau ini, tapi tolong jangan sekarang yah? Kepala kamu pasti masih sakit."

"Persetan sama kepala aku yang sakit, aku cuma pengen ketemu Kakak!"

Hendery kembali berjalan dengan tertatih, kepalanya menengok kesana kemari berharap menemui sesosok Hanna dengan keadaan baik-baik saja.

Tiba-tiba Ayahnya menarik pergelangan tangan Hendery, dan menuntun Hendery ke arah lorong lain.

Hendery terdiam, napasnya memburu bahkan hatinya terasa begitu sakit padahal ia belum mengetahui kebenaran yang ada.

Ayah hendery menuntun Hendery dengan hati-hati, lalu ia terdiam di depan pintu bertuliskan kamar mayat.

Hatinya terus membisikan bahwa ia tabah, bahwa ia kuat, dan bisa melalui ini, lalu ia membuang napas tenang yang berhasil membuat dirinya lebih tenang lagi daripada sebelumnya.

Retislaya || 𝐇𝐞𝐧𝐝𝐞𝐫𝐲 𝐖𝐚𝐲𝐕Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang