Mistress S2; 08

502 132 42
                                    

Hyera

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hyera.

Ini adalah minggu ke dua setelah kejadian nahas yang menimpa putriku. Lukanya dalam tahap pemulihan sekarang, kendati demikian dokter menyarankan agar tetap rawat inap, di karenakan psikis Jiya sedikit terganggu hingga menyebabkan trauma. Dia sedikit lebih pendiam dan mudah takut. Pernah satu hari, dia yang tengah tertidur aku tinggal keluar sebentar, berteriak histeris hingga terdengar oleh suster yang kala itu lewat di depan kamar rawat Jiya.

Sungguh sangat disayangkan, hal seperti harus Jiya alami.

"Ayo, sayang satu suap lagi."

"Jiya kenyang, papa."

"Ya sudah, kalau gitu minum obat nya, ya, agar Jiya cepat sembuh."

Ah, bisa ditebak, bukan? Itu percakapan siapa?

Ya, Namu.

Dia sudah memiliki akses sendiri kapan pun ingin melihat Jiya. Dan aku, diam mematuhinya. Bukan aku menerimanya, sudah ku katakan. Aku melakukan ini semua untuk putriku, dan terbukti sekarang dengan keberadaan Namu setiap waktu membantu Jiya melawan sakitnya.

Aku berjalan mendekati ranjang Jiya. Menyiapkan obat dan merapikan bekas makannya, ku lirik Namu sesaat. Dia tengah mengotak-atik ponselnya, terlihat serius, tersemat pula ekspresi marah diwajahnya, tetapi dia tahan terlebih saat mendongak dan menatap ke arahku, ekspresi tadi hilang diganti senyuman pada bibirnya.

Aku tahu, akhir-akhir ini dia sibuk. Entah apa yang terjadi, namun bisa ku pastikan semua berhubungan dengan pekerjaan dan pelaku yang meneror aku waktu itu. Sampai saat ini, pelakunya belum dibekuk oleh aparat kepolisian. Penjahat kelas kakap atau bagaimana? Sampai-sampai polisi sangat sulit menemukan pelakunya.

"Jiya, minum obatnya, sayang." Ucapku sembari menyodorkan obat puyer padanya.

"Hye, aku tidak bisa lama-lama, di kantor ada beberapa hal yang harus aku urus." Katanya, yang masih bertukar pesan pada seseorang.

"Tidak apa, Jiya sudah waktunya istirahat, kau bisa pergi." Aku berbalik badan setelah membantu meminum obatnya, Namu berjalan mengikutiku.

"Ada sesuatu yang ingin aku katakan."

"Katakan saja sekarang."

"Tentang pernikahan kita," Langkahku terhenti. Apa harus membahas itu sekarang? Aku sudah sering mengajukan protes dengan pembahasan semacam ini, namun agaknya dia tidak ingin mendengarkan. Terus saja mendesak, seolah yang menjadi keputusannya mutlak kebenaran.

Aku meloloskan desah, teramat berat. Berbalik perlahan menatapnya. "Namu, jika kau menyayangi putriku, sayangi dia seperti yang kau katakan. . .tanpa harus menuntut adanya pernikahan." Seruku pelan, aku hanya tidak ingin Jiya mendengar perdebatan yang tidak berguna ini.

Namu menatapku, terdiam cukup lama. Hingga dia kembali membuka suara, mengucapkan kalimat yang cukup membuatku ingin menariknya keluar rumah sakit. "Dua minggu dari sekarang, pernikahan kita akan diselenggarakan. . .kau ingat kata dokter kemarin? Jika Jiya tidak bisa jauh dari orang yang merasa dia aman."

𝐌𝐈𝐒𝐓𝐑𝐄𝐒𝐒 [𝐌]✓ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang