13. Warung Mi

71 22 0
                                    

Juna disambut oleh senyuman sahabatnya. Ara melambai sambil melangkah dengan riang. Langkah gadis berambut panjang itu sudah mirip kangguru. Biasanya Juna akan tersenyum ketika melihat kelakuan absurd sahabatnya, tetapi kini suasana hatinya sedang tidak mendukung untuk tersenyum.

"Aduh, muka lo kaku banget kayak kanebo kering." Ara meledek Juna yang hanya menatapnya malas. "Eit, nggak boleh protes. Soalnya gue belom nemu istilah yang lebih keren dari kanebo kering buat gambarin muka lo yang kaku gitu."

Juna tidak menjawab. Ia sibuk mengeluarkan motornya dari garasi.

"Tombol on-nya mana, nih? Lo beneran kayak nggak punya semangat. Senyumnya mana?" Ara mengitari tubuh Juna yang tengah memanaskan motor matiknya.

"Lo bisa diem, nggak?" Juna berseru galak.

"Idih, sensi amat. Lagi dapet, Pak?" Ara menepuk punggung Juna.

Bukannya mendelik seperti biasa, Juna malah menghela napas panjang.

"Udah ngerjain PR Pak Sopar? Liat dong." Ara merengek sambil mencoba membuka ransel yang tersampir di bahu Juna.

Juna diam.

Tangan Ara bergerak dengan leluasa. Begitu mendapatkan buku yang dimaksud, gadis itu langsung berpindah ke depan Juna. "Tumben lo nggak kesel? Biasanya langsung ngamuk kalau gue buka tas tanpa izin."

Juna masih diam.

Bisa dibilang, fase marah tertinggi dari seorang Arjuna Putra Hanggasa adalah diam. Ara jadi serba salah. Ia menatap mata Juna dan menantikan senyuman jail dari laki-laki itu, tetapi tatapan dingin itu tidak berubah meski Ara sudah menghitung dalam hati sampai angka  dua puluh.

"Juna, lo marah beneran, ya? Maafin." Ara segera mengembalikan buku Juna ke tasnya.

Laki-laki berseragam SMA itu menarik tali tasnya dan segera menaiki motor. Ara bingung harus berbuat apa karena Juna kelihatan marah betulan. Ia hanya berdiri di samping Juna sambil menatap sepatunya sendiri.

"Lo mau nebeng, apa nggak?" Juna berkata jutek.

Ara segera mengambil kesempatan itu dan duduk di belakang Juna. Sepanjang sejarah pertemanannya, baru kali ini Juna tidak menanggapi candaan Ara dengan wajah seperti itu. Laki-laki itu seolah tidak hidup. Semangat di matanya seolah padam. Seluruh warnanya seolah sudah disedot habis dari tubuhnya.

Sepanjang perjalanan, mereka hanya diam. Tidak ada perdebatan seperti biasanya. Juna tidak berbicara. Ara juga menahan diri untuk tidak menggoda Juna. Setelah tiba di sekolah, mereka berpisah ke bangku masing-masing dan tidak berbicara lagi setelahnya.

Bel istirahat berbunyi ketika Juna masih tenggelam dalam pikirannya sendiri. Laki-laki dengan seragam putih abu-abu itu sibuk menyibak rambut, melipat tangan dan meremas tali tasnya.

"Juna! Jun! Arjuna!" Ara memilih untuk memanggil nama sahabatnya. Gadis berambut panjang itu akhirnya memukul sahabatnya yang melamun hingga Juna terkejut.

Setelah dipukul lengannya, barulah Juna sadar kalau kini ia berada di kelas yang hampir kosong.

"Lo mikirin apa? Masalah apa lagi? Akhir-akhir ini lo sering banget ngelamun." Ara bertanya sambil meluapkan emosi.

Juna memandang sekelilingnya dan ia menghela napas setelah memahami kata-kata Ara. Ia melihat kalau hampir semua orang meninggalkan kelas. Hanya satu kelompok terdiri dari empat orang ada di kelas selain mereka. Laki-laki berlesung pipi itu menatap Ara lebih lama dari yang seharusnya.

"Ayo ke kantin! Lo diajakin sama anak cowo tadi, tapi lo sibuk ngelamun. Nggak ada yang berani gangguin lo." Gadis berambut terikat itu menarik ujung baju Juna.

Juna bisa melihat kalau Ara tengah melancarkan jurus bujukannya agar kemauannya dituruti. Tanpa terduga, Juna berdiri dan mendekati gadis berponi itu. "Gue nggak mau makan. Lo beli makan, nanti gue temenin makannya."

Melihat ekspresi Juna yang kelewat dingin membuat Ara hanya mengangguk dan mengikuti langkah laki-laki itu. Juna hanya melihat gadis berponi itu makan, bahkan ia tidak menyentuh es teh manis yang Ara pesankan untuknya. Mereka kembali terjebak dalam diam.

Sepulang sekolah, Juna memilih untuk datang ke dojang karena pulang ke rumah terasa salah untuknya. Laki-laki yang mengenakan seragam putih abu-abu itu berdiri di depan kedai mi yang berada tepat di seberang dojang. Ia sengaja memilih meja yang paling dekat dengan pintu. Mata cokelatnya terus terpaku pada pintu masuk dojang dan semua orang yang berlalu lalang di sana. Ada rasa takut yang membuat ia memilih untuk tidak mendekat.

Setelah menyantap semangkuk mi, Juna tidak pergi, tetapi ia tetap di sana hingga petang menjemput. Saking lamanya laki-laki berpakaian seragam sekolah itu duduk di sana, pemilik kedai akhirnya menghampiri.

“Tumben sendirian atau lagi nunggu Ayahnya pulang?” Pria paruh baya yang sudah dikenal Juna sejak kecil itu menyapa dengan ramah.

Juna tersenyum kaku dan membiarkan pertanyaan itu berlalu tanpa dijawab.

“Tadi Ayahnya dateng sama Mas Yohan, lho. Tumben Mas-nya nggak ikut?” Kini pelayan di kedai tersebut yang bertanya pada Juna.

Senyuman kaku yang dihiasi lesung pipi kembali ditunjukkan. Namun, kali ini lebih singkat dari sebelumnya.

Juna melirik jam yang mengantung di dinding. Jarum pendek jam tersebut sudah menuju ke angka enam. Wajar saja sang pemilik dan pegawai tersebut menghampiri Juna.

Merasa kalau kehadirannya di sana sudah memakan waktu yang cukup lama, akhirnya Juna segera bangkit berdiri. Juna pulang setelah puas memandangi dojang. Rasa rindu untuk menginjak matras dan melakukan latihan membuatnya sempat memejamkan mata sebentar untuk meredam emosi yang bergejolak di dadanya. Fakta yang selama ini tersembunyi, membuat Juna semakin terbawa emosi.

“Juna.”

Mendengar namanya dipanggil, refleks Juna bekerja dengan cepat. Ia menarik rem dan segera menepikan motor matik hitamnya. Laki-laki berseragam putih abu-abu itu menoleh dan mendapati Yohan tengah berdiri di depan dojang. Begitu melihat Juna menoleh, Yohan langsung berlari menghampirinya.

“Lo beneran nggak akan datang latihan lagi?” Laki-laki yang mengenakan celana putih itu bertanya sambil terengah.

Juna hanya menghela napas.

"Ingat janji kita? Kita bakal bawa pulang emas di kejuaraan nasional tingkat senior. Di mana semangat kamu?" Yohan berbicara sambil menepuk pundak Juna. Tepukan itu bukan tepukan pelan persahabatan, tetapi lebih mirip dengan hukuman guru BK.

"Lo nggak punya kalimat lain? Udah dua kali lo bilang gini ke gue." Juna berkata sarkas.

"Tiap hari gue nunggu lo datang."

"Mulai drama." Juna mendengkus.

"Ngapain kamu ke sini?" Suara yang Juna kenali terdengar dari jauh.

Juna menoleh dan mendapati Ayah berdiri di sana. Ia menatap laki-laki paruh baya itu dan jantungnya berdegup kencang. Segala rasa berkecambuk di dadanya. Kata-kata dari pria itu seolah menusuk hatinya. Kaliamat itu seakan ditujukan untuk orang asing.

"Saya tanya, ngapain kamu ke sini?"

Yohan yang berdiri di tengah hanya bisa menatap dua orang itu bergantian sambil menghela napas.

Keluargaku ter-Taekwondo ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang