Juna memarkirkan motor matik hitamnya di depan dojang. Begitu membuka helm yang dikenakan, ia langsung melihat Ayah sudah berdiri di pintu depan. Laki-laki yang mengenakan kaos hitam itu langsung tersenyum begitu mata mereka bertemu.
"Bunda bilang, kamu kecelakaan?" Ayah bergerak menghampiri Juna.
"Aku nggak apa-apa, Yah. Kayak nggak tahu Bunda aja, level lebaynya tuh ngalah-ngalahin lambe turah."
Bukannya percaya pada kata-kata Juna, Ayah malah melihatnya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Pria paruh baya berlesung pipi itu bahkan sampai memeriksa siku dan lutut Juna. Ayah juga mengitari anak tunggalnya untuk memastikan kondisinya benar-benar baik.
Juna tertawa kecil melihat tingkah tingkah ayahnya yang kelewat khawatir. "Emangnya Bunda bilang apa, Yah?"
"Bunda tadi telepon, katanya kamu bakalan telat datang karena habis keserempet motor di depan rumah."
Juna kembali tertawa. "Aku beneran nggak apa-apa, Yah. Yang disenggol itu si Bleki. Aku nggak di atas motor waktu kesenggol."
Ayah akhirnya tersenyum. Ia menepuk bahu Juna dua kali, kemudian merangkul anak satu-satunya sambil berjalan memasuki dojang. "Syukurlah kamu nggak apa-apa."
Juna tersenyum. "Aku ganti baju dulu, Yah."
Setelah Juna berpamitan untuk berganti pakaian, Ayah melepaskan rangkulannya kemudian ia menuju ke area latihan. Ayah melatih atlet yang berada di kelas senior. Kelas senior diisi oleh atlet yang berusia lebih dari tujuh belas tahun. Juna sebenarnya sudah bisa mengikuti kelas itu, tetapi Ayah selalu mengatakan kalau ia boleh mengikuti kelasnya jika sudah berulang tahun ke delapan belas.
Juna mengenakan pakaian taekwondo, dilengkapi dengan sabuk hitam yang melilit di pinggangnya. Ia memasuki ruangan yang dipenuhi matras. Di ruangan itu, sudah ada satu orang pelatih yang berdiri di depan sepuluh anak yang akan menjadi peserta latihan kali ini. Orangtua atau pengasuh mendampingi anak-anak mereka dari sudut ruangan. Khusus kelas di bawah sepuluh tahun, di sudut ruangan selalu disediakan kursi untuk pendamping. Semua anak yang ada di ruangan itu masih berada pada tingkat awal. Hal ini ditandai dengan sabuk putih yang terpasang di pinggang mereka.
Sebelum latihan dimulai, biasanya Sabeum akan memeriksa kelengkapan pakaian anak didiknya, tetapi karena Juna datang sedikit terlambat, semua perlengkapan anak-anak sudah diperiksa oleh Sabeum lain yang bertugas. Menjadi pelatih pengganti bukanlah pengalaman pertama bagi Juna, tetapi ini kali pertama ia mendapatkan kelas paling kecil yang ada di dojang. Biasanya ia menjadi pengganti di kelas umur di atas delapan tahun.
Juna banyak tersenyum karena melihat kelucuan anak-anak yang kelihatan serius untuk menirukan gerakan yang dilakukan olehnya. Setelah berlatih poomse, anak-anak dilatih untuk melakukan tendangan ke target. Target yang digunakan adalah target khusus untuk anak kecil sehingga bahan yang digunakan lebih lembut. Saking semangatnya, beberapa anak jatuh tanpa mengenai target.
KAMU SEDANG MEMBACA
Keluargaku ter-Taekwondo ✓
Ficção GeralArjuna Putra Hanggasa (Juna) bermimpi untuk menjadi atlet nasional Taekwondo. Lahir dan besar di keluarga yang menggeluti olahraga asal Korea Selatan itu, membuat Juna secara alami mengikuti jejak Ayah dan Kakek. Selain mimpi, ada alasan lain yang s...