Juna masuk ke rumah melalui pintu belakang. Ia sudah menjinjing sepatu olahraganya dan mengikat jaketnya di pinggang. Setelah meletakkan sepatu di rak, langkah Juna terhenti karena Bunda sudah duduk dan menatapnya seolah telah menantinya sepanjang pagi. Juna berdiri kaku karena mata sayu Bunda tidak beranjak darinya.
"Juna, Bunda boleh ngomong sebentar?" Bunda bertanya dengan suara yang masih sama lembutnya.
Bukannya menjawab laki-laki yang hampir kuyup oleh keringat itu malah menatap ke arah lain. Ia berusaha berjalan melewati meja makan dengan langkah yang kikuk.
"Bunda mau ngomongin soal Ayah kamu."
Kalimat Bunda mampu membuat Juna menghentikan langkahnya seketika. Laki-laki yang kini mengenakan kaos tanpa lengan itu menoleh.
"Bunda mohon. Bunda perlu ngomong sama kamu." Kini suara Bunda terdengar putus asa.
Setelah berdebat dengan dirinya sendiri, akhirnya Juna menahan egonya dan memilih untuk duduk di depan Bunda. Ia membiarkan tangannya tertaut di bawah meja, kemudian matanya sibuk menatap lapisan kayu meja makan.
"Ayah kamu telepon Bunda, dia minta kamu untuk nggak datang lagi ke dojang." Bunda menarik napas panjang, kemudian melanjutkan kalimatnya. "Sejujurnya, Bunda nggak begitu suka kalau kamu ikut taekwondo. Nilai sekolah kamu bagus, kamu bisa punya banyak cita-cita, tapi enggak dengan atlet taekwondo. Kau mau dengerin Bunda kan, Juna?"
Juna diam. Baru saja ia meyakinkan diri untuk kembali bangkit berdiri dan menghadapi ayahnya agar bisa tetap latihan, kini Bunda seolah menarik paksa tangannya untuk berbalik dan tidak melakukan hal itu. Juna merasakan sesak yang membuatnya kehilangan kemampuan berbicara. Kakinya hendak melangkah, tetapi tangannya kini dirantai.
"Ayah kamu nggak suka kamu datang ke dojang. Bunda juga nggak suka kamu ikut taekwondo. Jadi, kamu nggak ada alasan untuk tetap ikut taekwondo. Bunda mau kamu fokus belajar."
Juna tertawa kecil. Ia merasa kalau hidupnya sangat lucu. Juna mengangkat kepalanya dan menatap Bunda lurus. "Sejak kapan Bunda nggak suka aku ikut taekwondo?"
Pertanyaan tidak terduga dari Juna, membuat Bunda tergagap.
"Bunda nggak bisa bohongin aku, aku bukan anak kecil lagi. Kalau Bunda memang enggak suka aku ikut taekwondo, seharusnya Bunda ngelarang aku ikut sejak aku umur lima tahun. Bukan sekarang! Bukan di saat aku udah menentukan pilihanku."
Juna bangkit dari duduknya. Ia berjalan menuju kamarnya, tetapi tiba-tiba ia ingat satu hal. Laki-laki berkaos tanpa lengan itu berbalik kemudian berkata, "Kalau Bunda nyuruh aku berhenti taekwondo supaya nggak ketemu sama Ayah, itu enggak akan berhasil. Walaupun tanpa taekwondo, aku akan tetap nemuin Ayah terus."
Juna melanjutkan langkahnya dengan pasti. Ia masuk ke kamarnya dengan membanting pintu, kemudian Juna segera mandi. Ia sudah tahu apa yang perlu dilakukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Keluargaku ter-Taekwondo ✓
Ficção GeralArjuna Putra Hanggasa (Juna) bermimpi untuk menjadi atlet nasional Taekwondo. Lahir dan besar di keluarga yang menggeluti olahraga asal Korea Selatan itu, membuat Juna secara alami mengikuti jejak Ayah dan Kakek. Selain mimpi, ada alasan lain yang s...