Sebenarnya kepala Juna sudah dipenuhi dengan banyak pikiran. Pertemuannya dengan Ayah yang tanpa disengaja sore tadi membuat perasaan Juna semakin tidak karuan. Laki-laki yang sudah mengenakan pakaian tidur itu kini mulai merutuki perbuatannya. Juna baru sadar kalau ia melakukan hal yang sangat tidak sopan dengan melarikan diri ketika Ayah masih bicara dengannya.
Semarah apapun, ia tidak seharusnya melakukan tindakan tidak sopan seperti sore tadi. Juna mengambil ponselnya yang tergeletak di meja belajar, kemudian ia mengetik sebuah pesan yang akan dikirimkan pada Ayah.
Jari-jari Juna bergerak di atas layar ponselnya mengetik satu baris kalimat yang sudah ada di kepalanya, tetapi setelah kalimat itu tampil di layar Juna membaca kembali lalu menghapusnya.
Juna menatap layar ponselnya, kemudian kembali mengetik satu kalimat yang sama. Namun, satu kalimat itu kembali dihapus dan malah berubah hanya menjadi dua kata.
Maaf, Yah.
Juna memposisikan jari telunjuknya pada tanda kirim. Namun, keberaniannya kembali menghilang. Ia kembali menghapus pesan itu kemudian laki-laki berbibir tebal itu mengatupkan mulutnya rapat-rapat hingga bibirnya membentuk satu garis. Tindakannya membuat lesung pipi yang ada di kiri dan kanan pipinya tercetak dalam.
Juna akhirnya menyerah dan membaringkan tubuhnya ke ranjang. Baru juga Juna menghela napas panjang, satu panggilan masuk ke ponselnya. Ia langsung mengubah posisinya dari tidur menjadi duduk, kemudian mengangkat panggilan itu dengan satu sentuhan di layar.
"Apa?" Juna menjawab sarkas karena sudah mengetahui siapa yang bicara.
Juna bisa mendengar suara decakan dari seberang. "Idih, galak amat."
"Ada perlu apa lo nelpon gue malam-malam?" Juna bertanya malas.
"Heh! Bagus-bagus ya, gue inget buat nelpon lo. Bukannya berterima kasih, malah nanya ada perlu apa?"
Saking pusingnya, Juna hampir menutup panggilan itu ketika nada bicara Ara berubah menjadi serius.
"Lo udah minta maaf?"
Juna terdiam.
"Juna, gue tanya, lo udah minta maaf?" Nada bicara Ara masih seserius sebelumnya.
Juna sempat takjub karena Ara bisa mengetahui kalau ia berniat untuk meminta maaf pada Ayah. Sepertinya julukan gadis bersuara serak itu harus bertambah. Gadis itu sudah pantas disebut sebagai cenayang.
"Minta maaf sama?" Juna melambatkan tempo bicaranya. Ia sebenarnya tahu maksud Ara. Ketika jarinya mengetik pertanyaan itu, ia sudah tahu siapa yang dimaksud gadis itu.
"Lo masih nanya minta maaf sama siapa? Gue tahu, sebenarnya lo pasti sudah merencanakan untuk minta maaf. Juna, gue kasih tahu ya sama lo. Lakuin itu sekarang, daripada lo nyesel nanti."
Juna diam. Ia memberikan kesempatan pada Ara yang terdengar masih mau melanjutkan kalimatnya.
"Nih, gue kasih tahu. Minta maaf dan dimaafkan itu hal yang berbeda. Lo bisa milih buat minta maaf, tapi dimaafkan itu urusan lain. Lo nggak punya hak buat paksa orang maafin lo, tapi seenggaknya lo punya pilihan buat minta maaf."
KAMU SEDANG MEMBACA
Keluargaku ter-Taekwondo ✓
Narrativa generaleArjuna Putra Hanggasa (Juna) bermimpi untuk menjadi atlet nasional Taekwondo. Lahir dan besar di keluarga yang menggeluti olahraga asal Korea Selatan itu, membuat Juna secara alami mengikuti jejak Ayah dan Kakek. Selain mimpi, ada alasan lain yang s...