Waktu keluar dari dojang, Juna masih terengah-engah. Bukan karena habis berlari, tetapi karena kekesalan yang menumpuk dalam dadanya. Laki-laki berseragam putih abu-abu itu tidak mengungkapkan perasaannya dengan baik. Contohnya seperti perasaan cinta bertepuk sebelah tangannya pada Ara yang tak kunjung usai. Juna jarang sekali bisa mengekspresikan kekesalannya. Mungkin itu salah satu sifat yang ia warisi dari Bunda. Juna bisa terlihat baik-baik saja meski sebenarnya hati dan kepalanya sudah mau pecah.
Juna sedang menaiki motor matik hitam miliknya ketika teman latihannya datang. “Gue denger, lo keluar dari dojang?”
Jika Juna dalam mode normal, ia pasti akan menjawab dengan canda. Namun, kini laki-laki yang mengenakan seragam putih abu-abu berlapis jaket itu hanya bisa diam dan menghela napas. Ia mengenakan helm tanpa menghiraukan temannya yang kelihatan masih ingin bertanya.
“Katanya ada pelatih baru dan mau buat kelas eksklusif. Eh, lo malah keluar gitu aja? Beneran?"
Wajah Juna memerah, ia membuang napas kasar dan menyalakan motornya dengan cepat. Sebelum ia tidak bisa mengontrol emosinya, Juna segera meninggalkan dojang. Laki-laki berjaket hitam yang tidak dikancing itu melaju dengan kencang. Ada sesak yang masih berkecambuk dalam dadanya. Perasaan marah seperti beberapa tahun lalu kembali ia rasakan.
Juna memilih untuk tidak pulang ke rumah. Ia malah duduk di pos ronda yang ada di dekat rumahnya. Ia mulai menatap mangga yang menggantung di dekatnya dan perlahan ingatan dari masa lalu kembali menghampirinya.
"Aku bakal keluar dari rumah ini!" Juna berteriak.
"Berani kamu langkahkan kaki keluar, jangan harap kamu bisa kembali."
Saat itu, Juna yang masih berusia empat belas tahun ketika ia memilih untuk benar-benar pergi dari rumah.
Juna masih ingat betul penyebab pertengkaran mereka saat itu. Saat itu ia masih duduk di bangku kelas 2 SMP, ia juga mulai mengenal kegiatan selain taekwondo. Laki-laki berlesung pipi itu mulai tertarik untuk bermain alat musik. Juna mulai bolos latihan taekwondo untuk latihan band. Ia merasa kalau ia harus mengutamakan musik dibanding taekwondo. Tentu saja, Ayah sama sekali tidak mendukung hobinya saat itu.
Untuk pertama kalinya, Juna mengungkapkan keinginannya untuk keluar dari taekwondo dan ingin menekuni musik sebagai sesuatu yang dia sukai. Ia keluar dari taekwondo alasan ingin fokus dengan musik. Namun, mundurnya Juna saat itu bertepatan dengan turnamen nasional yang akan berlangsung.
Bunda sempat bertanya pada Juna tentang alasannya. Apakah ia benar-benar ingin mundur atau ia hanya mengalami kelelahan sesaat, tetapi Juna yang sedang dalam masa puber malah berteriak pada Bunda dan mengatakan kalau ia tidak ingin bicara dengan Bunda.
Kejadian itu sempat membuat suasana rumah menjadi dingin. Juna tidak lagi ikut sarapan bersama. Ia juga tidak lagi berlari pagi bersama Ayah. Saat Juna terang-terangan menolak untuk ikut turnamen, perdebatan mereka akhirnya pecah.
"Musik cuma menarik perhatian kamu sementara. Ayah nggak pernah larang kamu suka musik tapi nggak begini caranya." Laki-laki paruh baya itu sudah melipat tangan di dada. Tatapan matanya membuat image ramah hilang dari wajahnya.
"Aku nggak mau ikut turnamen." Juna berbicara pelan, tetapi tetap berpegang teguh pada pilihannya.
"Kamu salah satu atlet andalan, kamu nggak bijaksana kalau kamu mundur di tengah jalan begini. Gimana dengan tim kamu?"
Juna tidak menjawab, ia malah melotot. Kini ia merasa kalau pilihannya tidak dihargai.
Melihat situasi yang semakin memanas akhirnya Bunda mendekat. "Juna coba ngomong sama Bunda, kenapa kamu mau berhenti taekwondo?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Keluargaku ter-Taekwondo ✓
Fiction généraleArjuna Putra Hanggasa (Juna) bermimpi untuk menjadi atlet nasional Taekwondo. Lahir dan besar di keluarga yang menggeluti olahraga asal Korea Selatan itu, membuat Juna secara alami mengikuti jejak Ayah dan Kakek. Selain mimpi, ada alasan lain yang s...