Sejak kecil, Juna sudah memiliki kebiasaan untuk bangun pagi, kecuali hari Minggu. Keluarganya selalu menikmati sarapan bersama setelah Juna dan Ayah lari pagi. Namun, hari ini ada yang berbeda. Pintu kamarnya tidak diketuk oleh Ayah. Akhirnya, ia memilih untuk berlari sendiri tanpa sempat bertanya pada Bunda.
Juna keluar dari kamar dengan seragam lengkap dan tas yang sudah tersampir di bahu. Matanya mencari sosok yang biasanya sudah duduk di meja makan sebelum ia datang.
“Ayah mana, Bun?” Juna menarik kursi di meja makan. Laki-laki dengan seragam putih abu-abu itu bisa melihat kalau Bunda tidak menampakan senyum seperti biasanya. Tatapan mata Bunda seolah kosong dan tangannya bergerak menuang air tanpa diperhatikan.
“Bun, airnya udah penuh.” Suara Juna sudah lebih keras dari sebelumnya, tetapi Bunda masih tidak menanggapi. Akhirnya, laki-laki berkulit pucat itu menyentuh tangan Bunda untuk menghentikan gerakan wanita itu.
"Iya, kamu tadi bilang apa?” Bunda kelihatan bingung dan kurang tidur.
Juna menghela napas, kemudian ia menyentuh dahi Bunda. “Kayaknya Bunda lagi sakit, deh. Bunda udah makan?"
"Sudah." Bunda menjawab, tetapi Juna tahu kalau ibunya berbohong. Wajah Bunda pucat, seolah seluruh warna di wajahnya sudah terhisap habis.
"Bunda istirahat aja, ya.”
Bunda mengangguk dan berlalu meninggalkannya tanpa mengatakan apapun.
Juna menatap sarapan yang kini tersaji di hadapannya. Hanya ada satu piring yang ada di meja. Mata cokelat yang sebelumnya cerah, kini diselimuti air mata. Suara yang ia dengar semalam kembali terngiang di kepalanya. Ingatan kejadian kemarin, turut berputar di kepalanya.
Ara sudah menghabiskan tiga buah mangga. Juna juga memakan satu buah mangga yang ia kupas sendiri. Mereka kembali ke rumah masing-masing setelah gadis berponi itu melihat Ayah pergi.
"Gue jalan aja. Lo nggak usah nanya apa-apa sama Bunda. Kalau Bunda mau, Bunda pasti cerita. Anggep lo nggak dengar apa-apa, tapi ini saran aja. Kalau lo mau nanya, ya silakan." Ara memberi masukan.
"Oke." Jawaban singkat yang sebenarnya dikatakan hanya untuk mempersingkat semua.
Juna tidak menyalakan motornya, ia malah sengaja mendorong motor agar tiba lebih lambat dari yang seharusnya. Ia membuka gerbang pelan dan berusaha masuk ke rumah tanpa suara. Anak laki-laki yang biasanya menghabiskan waktu makan malam bersama kedua orang tuanya itu, kini harus menikmati semangkuk mi yang ia masak sendiri.
Sebelum memasak, Juna sudah melihat tudung saji terlebih dahulu. Ia tidak mendapati apapun di sana. Laki-laki yang mengenakan kaus tanpa lengan itu mendekati kamar orang tuanya dan tidak terdengar suara dari dalam. Setelah selesai makan, ia sempat mengerjakan tugas kemudian tertidur dengan segera.
Juna terbangun karena suara bantingan pintu. Ia langsung turun dari ranjang untuk melihat apa yang sedang terjadi. Ketika ia membuka pintu, seorang pria paruh baya yang kelihatan mabuk duduk di ruang tamu. Sebelum ia keluar untuk menyalakan sakelar lampu, lampu sudah menyala. Bunda berjalan dengan tenang ke arah Ayah yang membaringkan tubuhnya di sofa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Keluargaku ter-Taekwondo ✓
Ficción GeneralArjuna Putra Hanggasa (Juna) bermimpi untuk menjadi atlet nasional Taekwondo. Lahir dan besar di keluarga yang menggeluti olahraga asal Korea Selatan itu, membuat Juna secara alami mengikuti jejak Ayah dan Kakek. Selain mimpi, ada alasan lain yang s...